Ilustrasi: Internet |
Oleh: Aziz
Afifi*
“Uhuk-uhuk”
Andri tersedak saat sarapan di
rumahnya. Ia baru saja berumur tujuh tahun ketika Juli kemarin. Seperti
anak-anak lain, begitu punya banyak permintaan
saat ulang tahun. Bahkan ibunya merasa keheranan ketika Ia tak cepat-cepat
meniup lilin. Bukan saja ibunya, tetapi teman-temannya juga, alasannya
sederhana, karena mereka sudah tidak sabar mencicipi kue ulang tahun biru
langit itu, tentu dengan gambar logo klub sepak bola Mancaster City kesukaannya.
Saat makan Ia merasakan sakit pada
dada dan tenggorokannya. Di dadanya Ia merasa nyeri karena tak ada udara masuk,
sedang di kerongkongan seolah ada yang mengganjal. Mungkin daging sapi yang
terlalu besar saat di telan. Ia sudah mulai mecari air minum. Tapi sialnya ia
tak dapat menjangkau gelas di rak dan kran air di tempat cuci piring. Apalagi di
rumah sedang kosong, tak ada satu orang pun. Ibunya harus berbelanja pagi-pagi
sekali, katanya untuk beli daging sebagai prasyarat peringatan neneknya yang ke
seratus hari kematiannya.
Dadanya makin sesak dan matanya
mulai petang. Pandangannya mulai remang dan Ia tak menemukan air untuk
menghilangkan daging yang mengganjal di krongkongan. Ia juga tak dapat
berteriak seperti biasanya. Karena merasa sakit. Dadanya makin sesak dan Ia tak
punya cara untuk mendapatkan air. Satu-satunya adalah air kamar mandi. Tapi Ia
takut nanti dimarahi oleh ibunya karena meminum air di bak mandi. Apalagi Ia
sangat takut sama ibunya, yang cerewetnya bukan main.
Kemudian Andri memandang ke sebuah
pintu. Warnanya putih dan bersinar. Pintu yang tak pernah Ia kenal sebelumnya.
Padahal ini adalah rumahnya. Mungkin Ia kebingungan. Saat berlari di dalam
rumah Ia melewati semua pintu yang ada di rumah ini. Apalagi ketika Ia bermain petak
umpet. Sering Ia bersembunyi di balik daun pintunya. Dan itu cukup berhasil
agar tidak ketahuan. Tapi pintu itu, Ia tak pernah mengenalnya. Tak terlihat
berdaun seperti pintu dalam rumah ini. Dan pintu dalam rumahnya semuanya
berwarna merah dan biru bukan putih.
Andri terus saja memandangnya. Pintu
yang bercahaya itu. Mungkin ada seseorang yang memasang lampu di belakangnya
dan lupa mematikannya sepagi ini. Apa Ia tidak takut dimarahi oleh ibu?
Bocah itu terus saja melotot sambil
menahan nyeri di dadanya. Ia melihat orang tinggi dengan sabit dan jubah hitam
datang. Dan terus mendekat. Andri belum tahu wajahnya, Ia belum dapat
memastikan Ia harus memanggilnya apa “pak” atau “bu” untuk minta tolong
mengambilkan air minum. Tetapi orang itu sudah menyodorkan segelas minum.
“Bagaimana, enak?” tanya orang itu. Suaranya
berat, mungkin laki-laki.
“Enak, segar, terimaksih, kau dapat
dari mana?” tanyanya
“Surga,” ucap orang itu
“Surga?”
“Iya.”
“Baiklah.”
Lalu Andri kembali ke meja makannya.
Dan duduk manis. Memegang sendok di tangan kanannya dan garpu di tangan
kirinya, seperti yang diajarkan oleh ibunya. Ia juga menjaga agar tak terdengar
suara benturan antara garpu, sendok dan juga piring. Nanti ibunya akan marah.
“Apa kau lapar?” tanya Andri dengan
masih menjaga keseimbangan jarak garpu, sendok ke piring.
“Tidak,” ucap orang berjubah hitam
itu lirih dan sopan. Seperti yang diajarkan oleh ibu Andri selama ini
kepadanya.
“Kamu siapa?” tanya Andri ke lelaki
itu lagi, masih dengan menjaga keseimbangan. Ia juga tidak ingin mengambil
makanannya di piring lantas mengunyahnya ketika bicara. Lagi-lagi itu peraturan
dari ibunya.
“Aku malaikat maut,” orang itu duduk
di depannya sambil menaruh sabitnya ke lantai.
“Kenapa kau membawa sabit? Dan
kenapa kau berpakaian hitam?”
“Karena aku disuruh begini.”
“Siapa yang menyuruhmu? Apa Ia juga
suka membuat peraturan?”
“Tuhan, kadang, hanya untuk
mengontrol kita agar tidak keblablasan.”
Andri hanya termanggut-manggut
mengerti. Maklum ia anak yang cerdas. Apalagi pelajaran agamanya selalu
mendapat nilai sembilan puluh. Pantas bila ia manggut-manggut pertanda
mengerti. Dan ia juga sering mendengar kata Tuhan dari ibunya dan ayahnya. Ia
mendengarnya “aduh Tuhan, belanjaanku ketinggalan” itu dari ibunya. Kalau dari
ayahnya ia mendengarnya tampak lebih menakutkan “ya Tuhan....bagaimana bisa
begitu?” saat ayahnya kalah proyek.
Andri melanjutkan makan. Ia tetap
menjaga keseimbangan tangannya agar tidak terdengar suara benturan piring,
sendok dan garpu. Ia melahapnya perlahan dan mengunyahnya dengan hati-hati. Dan
kali ini ia harus memastikan dagingnya benar-benar hancur. Agar kejadian tersedak
tidak terulang kembali. Dan malaikat maut itu masih di depannya dan melontarkan
pertanyaan “masih lamakah?”
“Sebentar lagi. Apa kau akan
membawaku ke surga?”
“Tentu,” kata malaikat itu dengan
sopan.
“Dengan pakaian seperti itu dan
sabit?”
“Tentu,” suara malaikat yang agak
naik.
“Kau pasti tak pernah disukai
anak-anak.”
“Memang, karena itu bukan tugasku,
bersama anak-anak.”
Andri lantas melanjutkan makan. Ia
kembali mengunyahnya hati-hati dan harus memastikannya lagi. Dan malaikat maut
masih di depannya. Sedikit agak gusar. Malaikat itu menoleh ke arah pintu dan
melihat arlojinya yang terbuat dari emas. Andri kemudian menelan makanannya.
Selang beberapa detik. Mungkin lima detik ia melontarkan pertanyaan.
“Apa sudah waktunya?”
“Ya, kita bisa terlambat.”
Kemudian ia
mengambil makanannya lagi dan mengunyahnya secara perlahan lagi. Malaikat maut
kembali gusar. Ia melihat arlojinya lagi.
“Apa kau juga yang mengambil Nenekku
kemarin?”
“Iya.”
“Tapi kenapa aku tidak melihatmu?”
“Karena hanya pada saatnya aku akan
terlihat.”
“Baiklah,” kembali Andri manggut-manggut
pertanda paham. Dan Ia meneruskan makannya. Kali ini Ia menyingkirkan sayuran
hijaunya. Kecuali Wortel. Ia memakan nasi dan Wortelnya serta daging secara
perlahan kembali. Lagi-lagi malaikat maut kembali resah dan melihat arlojinya.
“Boleh kita berangkat sekarang?”
“Mohon maaf, Pak Malaikat aku belum
selesai.”
“Aku bukan laki-laki juga bukan
perempuan, jadi jangan panggil dengan nama panggilan itu.” Andri kembali
manggut-manggut “masih berapa lama?” kata malaikat meneruskan tanyanya.
“Masih lima menit atau sepuluh menit?”
ucapnya sambil menunjuk jam dinding “apa kita akan terlambat? Apa Tuhan tidak
suka dengan orang terlambat?”
“Iya, Tuhan Maha baik, tapi kalau
keterlaluan Ia akan murka.” Kembali Andri manggut-manggut.
“Tapi mohon maaf Pak, eh, bukan, Malaikat
maut, kau harus pergi dulu saja, mengajak yang lain pergi ke surga, saya harus
menghabiskan sarapanku. Ibu suka marah kalau aku tak menghabiskan sarapanku.”
“Baiklah.”
Kemudian malaikat maut itu kembali
ke pintu yang bercahaya beserta sabitnya. Dan Andri kemudian kembali meneruskan
makannya, dengan menjaga keseimbangan antara garpu dan sendok, agar tidak bertabrakan. Andri juga harus
kembali mengunyahnya secara hati-hati dan perlahan, agar Ia tidak tersedak
kembali. Karena Ia takut malaikat maut kembali padanya dengan menawarkan air
lagi.
*Penulis
Direktur Beranda Sastra Edukasi (BSE) 2016
Lebih Dekat