Dok. Penulis |
Judul Buku : Orang Miskin Dilarang Sekolah
Pengarang : Eko Prasetyo
ISBN
: 979-345-717-1
Penerbit
: Resist Book
Tahun terbit : 2004
Tebal
: 248 + vi Halaman
Resensator : Syifa’ul Furqon
Pendidikan merupakan kebutuhan setiap individu
yang bisa diperoleh dari manapun. Pendidikan yang paling umum kita peroleh yakni duduk di bangku sekolah. Bagi kebanyakan orangtua, bersekolah
masih dirasa mahal. Akibatnya,
banyak anak pada usia sekolah tidak dapat merasakan bangku pendidikan.
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN) menyebutkan,
pada tahun 2017 sebanyak 1,7
juta anak pada umur 7-15 tahun di Indonesia harus putus sekolah. Mereka putus
sekolah dikarenakan biaya untuk bersekolah yang amat mahal.
Eko Prasetyo dalam bukunya yang berjudul “Orang
Miskin dilarang Sekolah”, mengatakan bahwa
sekolah mahal sebagai akibat dari adanya Kapitalisasi Pendidikan. Tingginya
uang gedung, sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) serta juga sering ditemui
pungutan liar merupakan potret kapitalisasi pendidikan di sekolah.
Sekolah mahal lahir akibat dari paham Ekonomi Liberal -dunia
dikendalikan pasar- yang dianut oleh Indonesia kemudian
melahirkan adanya Kapitalisasi Pendidikan. Kapitalisasi
pendidikan membuat sekolah disamakan dengan pasar. Ketika sekolah sudah mulai disamakan dengan pasar, maka
sekolah hanya berorientasi pada laba.
Sekolah
yang berorientasi laba, menyebabkan
terjadinya persaingain antar sekolah
untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya siswa.
Artinya, semakin banyak siswa yang mendaftar, maka pendapatan sekolah tentu
semakin banyak pula.
Kompetisi ini membuat sekolah berlomba-lomba menjual (read: mempromosikan)
sekolahnya kepada masyarakat. Brosur-brosur bertuliskan bermacam beasiswa,
fasilitas sekolah dan prestasi sekolah dijual demi meraup sebanyak-banyaknya peserta didik.
Sekolah
Mengantarkan Musibah
Banyaknya sekolah yang mengeruk
keuntungan dari siswa tak sebanding dengan kualitas sekolas. Kualitas di sini
baik dari segi pelayanan maupun lulusan. Sekolah
sebagai pewujud tujuan negara harusnya mencetak lulusan yang cerdas -cerdas secara emosional, spiritual dan
intelektual. Namun
faktanya, sekolah tidak mencerdaskan kehidupan bangsa, melainkan, sekolah membawa
bencana bagi siswa, guru dan masyarakat.
Dengan semakin tingginya biaya sekolah,
seharusnya kesejahteraan guru terjamin. Realitas di lapangan menunjukkan gaji guru di beberapa wilayah di Indonesia
jauh dari kata layak. Gaji yang diterima hanya bisa digunakan untuk membeli
peralatan mandi saja. Akibatnya banyak guru yang memilih meninggalkan
profesinya bahkan bunuh diri. Cerita lain, Akhir desember 2003, Guru TK di
demak dipolitisir, mereka dipaksa melakukan gerak jalan sambil mengenakan kaos
bergambar salah satu partai. Padahal waktu itu merupakan acara memperingati
ulang tahun Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).
Siswa sebagai pribadi yang merasakan
langsung, mereka menjadi korban adanya sekolah yang kurang berkualitas. Tawuran,
perpeloncoan, pengangguran, hingga bunuh diri
merupakan gambaran apa yang akan didapat siswa disekolah.
Dalam Radar Yogya (12/10) 2003, Orang tua Ruli menjual Becak yang menjadi
sumber penghasilannya demi membayar uang karya Wisata. Namun sayang, Ruli
meninggal akibat kecelakaan bus karya wisata tersebut. Beberapa waktu yang lalu
juga terdengar kabar salah satu mahasiswa di perguruan tinggi meninggal akibat
dipukul seniornya. Di tegal, Heryanto nekat
melakukan percobaan bunuh diri dikarenakan tidak sanggup membayar uang kegiatan
sekolah.
Sekolah sering menciptakan lulusan yang pandai
namun tidak peka. Mereka lulus dengan nilai yang sangat baik, namun tidak
peduli dengan masalah yang terjadi di masyarakat.
Mereka menganggap dirinya sangat pandai hingga menjauhi realitas masyarakat
yang terjadi. Hal ini sesuai
dengan kutipan Tan Malaka yang mengatakan bila
kaum muda telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan
pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya
memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak
diberikan sama sekali.
Tak ketinggalan, Masyarakat ikut merasakan
dampak dari sekolah. Pemukiman penduduk disekitar bangunan sekolah menjadi
rawan penggusuran. Sekolah yang semakin berkembang mengakibatkan perlunya lahan
baru untuk memperluas wilayah.
Sekolah
Perlu Perhatian
Di tempat
lain di Indonesia, banyak gedung sekolah tidak layak pakai bahkan hampir
runtuh. Hal ini menjadikan nyawa siswa dan guru dipertaruhkan. Sayang, Para
wakil rakyat tidak peduli dengan nasib sekolah tersebut. Mereka lebih memilih
untuk sekalian merubuhkannya dan mendirikan gedung-gedung perkantoran.
Dengan carut marutnya sekolah, perhatian
masyarakat terhadap sekolah juga semakin berkurang. Oleh karena itu, angka
putus sekolah masih tinggi. Akar dari permasalah (read : carut marut sekolah)
yakni sekolah yang mahal. Dalam buku ini, Penulis
menekankan sekolah mestinya
murah karena apabila sekolah murah maka akan meningkatkan kepedulian masyarakat
terhadap sekolah.
Dalam buku setebal 248 ini, Eko mengungkapkan perlu dilakukannya solusi
dengan jalan radikal. Pertama, APBN haruslah 20%. Kedua, Perlunya keterlibatan
perlemen serta pemotongan gaji pejabat dan dialokasikan untuk pendidikan,
Ketiga, Pihak perusahaan dan sektor usaha mengeluarkan pajak khusus untuk
pendidikan. Keempat, dilakukannya Investigasi terhadap pihak-pihak terlibat
korupsi. Kelima perlu adanya managemen sekolah yang terbuka serta keterlibatan
media massa dalam mengawal jalannya pendidikan.
Wacana yang dihadirkan dalam Buku Orang Miskin
Dilarang Sekolah muncul sebagai bentuk kekhawatiran Eko Prasetyo dengan sekolah
yang saat ini semakin mahal. Walaupun buku ini diterbitkan pada tahun 2003
silam dimana telah ada beberapa masalah yang sudah mulai diselesaikan. Buku ini
sebagai rujukan masyarakat apakah sekolahan disekitarnya masih seperti yang
digambarkan diatas.
Lebih Dekat