Ilustrasi : Internet |
Oleh: Arif Rahman
Pagiku berhiaskan aroma
kopi
Sesekali asap ku
lemparkan ke angkasa
Sembari tangan ku membuka
lembaran kertas
Yang ku pungut di depan
pintu rumahku pagi ini.
Ku saksikan ribuan abjad
menjadi humas,
Kabarkan selaksa
peristiwa dari gurat keringat manusia,
Tak sabar mataku ingin
menjamah,
Ia meronta-ronta,
jelalatan, bak memandang perawan,
Ku lepaskan ia seperti
nafsu,
Seketika ia menerjang dan
melahap segala yang ada,
Laksana orang kehausan
yang bersua air minum.
Pagi ini ku temukan Indonesia
tersenyum
“pemerintah sukses
mengekspor kolor dengan harga mahal”
Tercetak tebal sebagai
headline koran,
Ku hempaskan senyum kecut
sambari membacanya.
Padahal pagi itu, ku
temukan Indonesia terluka
“petani garam ditemukan
mati di atas ladang garamnya,
Padahal harga garam
sedang melangit harganya”
Di halaman lain, ku
temukan Indonesia Tersenyum Lebar
“Menkominfo sukses
memblokir Ribuan situs esek-esek dan judi”
Kemajuan kata mereka,
Dengan anggaran
bermilyaran rupiah,
Hanya bisa situs ecek-ecek,
Padahal, pagi itu ku
lihat indonesia menangis
“Ribuan Tunas Bangsa
menjual pakaian untuk sekolah, Jutaan generasi muda tidak dapat mengunyah kayu
bangku sekolah”
Televisi ku pagi ini,
Tak jauh berbeda dengan
koran ku tadi,
Sesekali televisi ku,
memuntahkan saus pedas pelengkap makan ku.
Tidak hanya pagi, siang,
sore, malam, bahkan dini hari,
Mereka muntah tak kenal
waktu,
Hingga penuh lah botol
saus ku
Telivisiku punya
pekerjaan sampingan,
Sebarkan virus, berita
pesanan, dan sejawatanya
Pagi ini ku lihat
telivisiku tersenyum,
“Indonesia sedang
bahagia,
sedang ada pesta
adu-domba di ujung sana,
di ujung seberang sana,
ada kontes orang paling benar di muka bumi,
di tetangga sebelah orang
beradu tajam siku mereka”
semua menjadi omset yang
menggiurkan bagi mereka,
demi berburu iklan yang
menjadi kegemaran,
tak peduli berita itu
menjijikan.
Di channel lain, ku
temukan Indonesia tersenyum
banyak aktor potensial
muncul dari layar pejabat tinggi
“seorang pejabat tejerat
kasus korupsi, masih saja berucap ; ini kriminalisasi”
semua bak opera sabun,
yang mengikat pandangan dari penikmat
Pagi ini, ku temukan
televisi ku tertawa terbahak-bahak.
“karena seorang jurnalis
mati, sehari setelah penanya bercerita tentang Indonesia, tempat terasyik bagi sengkuni berlaga, sedang
Krisna hanyalah seorang pesakitan.”
Haruskah ku tonton
televisi dari belakang layar ?
Haruskah baca koran
setelah ku bakar?
Atau, ku tahu fakta
sebelum realita?
Yang ku tahu, seorang
jurnalis mengukir keabadian diatas kejujur ?
Lantas kenapa, mereka
mengukir kebohongan abadi, di bawah kebohongan.
Tidak monopoli kebeneran,
maupun pembodohan masal.
Semarang 23/08/2017
Lebih Dekat