Ilustrasi : Google.com
Oleh: Alifatul Awwaliyah*
|
Aku adalah seorang putri. Ya, benar. Aku adalah seorang putri.
Namun bukan putri dalam artian yang sebenarnya. Ayahku bukan raja. Dia tidak
memiliki istana ataupun kastil seperti yang ada pada film-film di luar sana. Dia seseorang yang memiliki kuasa.
Tidak ada yang berani menentangnya. Dia disegani dan dihormati. Seperti itulah
ayahku. Ibuku juga bukan ratu, apalagi permaisuri. Tapi jangan tanya seberapa
mewah kehidupannya. Aku rasa, ratu yang sesungguhnya pun akan kalah saing bila
melihat seberapa mewah hidupnya.
Hidupku mewah. Hidupku gemerlap. Hidupku mudah. Apa yang kuinginkan akan dengan
cepat terpenuhi. Aku ingin mobil, tinggal tunjuk saja. Dalam hitungan hari ... bukan, dalam
hitungan jam maka mobil yang kuinginkan akan menjadi milikku. Aku ingin pergi
ke luar negeri,
tinggal pilih negara mana yang aku inginkan. Tidak usah repot-repot harus
menyewa pesawat atau mencari tiket terlebih dahulu. Terlalu ribet. Jet
pribadiku siap mengantarku ke manapun aku mau.
Jangan pernah menyuruhku, karena selama 17 tahun aku hidup, aku
tidak pernah menerima perintah. Aku yang selalu memerintah. Aku yang selalu
berkuasa. Jangan pernah bicara kasar padaku jika kau masih ingin melihat hari
esok. Ingat! ayahku tidak akan membiarkan seorang pun untuk membentakku. Karena
aku putrinya. Putri yang amat dicintainya.
Segalanya berjalan sesuai keinginanku. Segalanya berjalan secara
sempurna. Sesempurna yang aku bayangkan. Hingga suatu malam, di saat aku
beserta ayah dan ibuku sedang menikmati makan malam, petaka itu datang.
“Selamat malam, Pak Tyo. Anda sekarang sudah ditetapkan sebagai
tersangka dalam kasus korupsi Bank Sentral. Jadi kami mohon kerjasamanya agar Bapak
bersedia ikut dengan kami untuk kami periksa,” ucap seorang
pria berseragam yang aku
ketahui merupakan seragam instansi antikorupsi di negaraku.
Aku kaget, tentu saja. Siapa yang akan menyangka, ayah yang selama
ini aku hormati, aku puja dan aku banggakan akan melakukan hal bodoh seperti
itu?
“Atas dasar apa anda berbicara seperti itu? Apa anda memiliki bukti?
Anda jangan macam-macam dengan saya. Saya ini pejabat pemerintah, mana mungkin
saya melakukan korupsi,“ ayahku mengelak.
Namun saat petugas tersebut mengeluarkan surat perintah
penangkapan, ayahku bungkam seketika. Malam itu, malam yang aku kira akan
berakhir bahagia karena akhirnya kami bisa makan malam bersama harus berakhir
menyakitkan. Aku dan ibuku harus menyaksikan bagaimana ayahku digelandang ke
mobil tahanan. Menyisakan banyak pertanyaan yang ada dalam pikiranku. Malam itu
berakhir dengan tangisanku dan juga ibuku.
Hanya dalam semalam kehidupanku berubah. Kemewahan, kehormatan,
jabatan, dan kemudahan seketika lenyap. Aku yang dulu dipuja, kini dicaci. Aku
yang dulu dicinta, kini dibenci. Aku yang dulu berkuasa, kini tak berdaya.
Jangan tanya ibuku, nasibnya tak jauh beda denganku. Bahkan lebih buruk. Dia
yang dulunya nyonya besar, kini menjadi ibu rumah tangga biasa. Dia yang dulu
memakai emas berlebih, kini harus rela berpenampilan layaknya Bi Inah, pembantu
kami.
Ayahku? What the hell. Aku sudah tidak peduli. Aku sekarang
amat membencinya. Dia yang merusak hidupku dan masa depanku. Dia yang membuat
aku dicaci dan dimaki oleh orang sekitar. Entah dimana dia sekarang. Mungkin
sedang menikmati dinginnya dinding Hotel Prodeo, atau mungkin juga sedang mencari bantuan, bukan mencari ... mengemis
lebih tepatnya. Mengemis bantuan dari yang menurutnya rekan seumur hidup.
Itu semua bullshit. Mana percaya lagi aku dengan kata rekan,
teman, sahabat, ataupun saudara. Mereka yang kukira menyayangiku ternyata hanya
menginginkan kehancuranku. Mereka yang kukira akan melindungiku kini berbalik
menyerangku.
“Untuk apa kami membantu keluarga penjahat seperti kalian. Kami tidak ingin
menanggung dosa,“ ucap pamanku, saat aku dan ibuku datang untuk meminta bantuan
darinya.
“Apalagi untuk apa kami berurusan dengan koruptor, bisa-bisa kami juga kena imbasnya,“ tambah bibi yang saat itu
dengan angkuhnya menunjuk wajah ibuku.
Hatiku memanas, panas akan emosi. Entah emosi apa yang aku rasa.
Marah, benci, kecewa, terkejut, dan putus asa bercampur menjadi satu. Aku
benar-benar hancur. Tapi apa boleh buat, aku hanya bisa diam. Apa aku harus
melawan? Untuk apa? Toh apa yang mereka katakan itu benar? Aku memang anak
koruptor, anak dari seorang penjahat.
Tuhan ... apakah hidup memang sekeras ini? Atau memang hanya aku saja
yang terlalu naif? Mengira dunia akan berpihak kepadaku. Sekarang apa yang
harus aku lakukan? Aku sudah terlalu nyaman dengan hidupku yang dulu, hidup
seorang putri.
*)Penulis seorang mahasiswa jurusan Pendidikan Kimia
Angkatan 2017
Lebih Dekat