Dok. Google |
Judul :
The Seven Good Years
Penulis : Etgar Keret
Penerjemah : Ade Kumalasari
Penerbit : Bentang Pustaka
Cetakan : Pertama, Juni 2016
Tebal : x + 198 halaman
Isbn : 978-602-291-200-2
Resensator : Zakiyatur Rosidah
Buku
‘The Seven Good Years’ ini merupakan memoar Etgar keret selama tujuh tahun. Dimulai sejak
kelahiran putra pertamanya, Lev yang bertepatan dengan serangan bom di Tel
Aviv hingga kematian ayahnya.
Memoar ini dibuka
dengan cerita Keret yang tengah
mengantarkan istrinya melahirkan
ke rumah sakit. Peristiwa ini bersamaan dengan datangnya korban pengeboman
ke Rumah Sakit. Kemudian,
ada banyak reporter yang datang ke rumah sakit dan ia tiba-tiba ditodong banyak pertanyaan oleh reporter. Mereka (Read = Reporter) tahu bahwa Keret
seorang penulis dan ingin memintanya berkomentar terkait peristiwa pengeboman
itu. Akan tetapi Keret malah menceritakan bahwa ia sedang menanti kelahiran anak
pertamanya. Sang reporter pun kecewa dan hanya berujar Mazel Tov. (bahasa Ibrani yang berarti Semoga beruntung).
Keret
mempunyai cita rasa humor yang aneh, Ia sering mengejek dirinya sendiri sebagai Yahudi
Paranoid. Misalnya saja ketika berada di Jerman, ia takut dengan
Neo-Nazi. Suatu ketika di restoran, ia mendapati orang Jerman yang
sedang mabuk dan ngoceh dalam bahasa
Jerman yang tidak ia mengerti. Setiap ocehan berbahasa negeri yang pernah
dipimpin Hitler itu, Keret merasa aneh, namun dengan percaya diri ia yakin
bahwa orang mabuk tersebut sedang menghina orang Yahudi. Lantas ia pun berdiri
dan menantang orang mabuk itu. Kemudian ia tahu, bahwa orang mabuk itu tidak
sedang menghujat Yahudi, melainkan sedang mengomel karena mobilnya terhalang
oleh mobil lain di tempat parkir.
Sisi
pribadi Etgar Keret dapat kita nikmati dalam buku ini, Ia ingin seperti kakaknya. Kebanggaan terhadap kakaknya tersebut
ia gambarkan pada bagian ‘Memuja Idola’. Juga ada cerita perihal Yom Kippur
sebagai hari perdamaian. Ketika sirine dimatikan, orang-orang bebas berjalan di
jalan raya, Seketika suasana sangat damai.
Saat itu pula, sang anak bertanya, “apakah hari esok juga Yom Kippur?,” Keret
menjawabnya dengan jujur, “Tidak.” Sang anak pun menangis.
Cerita
tentang Keret dan undangannya ke Ubud
Writers and Reader Festival di Bali juga menarik. Ia menceritakan betapa
susahnya memperoleh visa sehingga ia harus menunggu beberapa hari di Bangkok. Dan juga tentang ayahnya yang melarang ia untuk memenuhi undangan. “Itu negara mayoritas Muslim. Anti-Israel. Anti-Semit,”
Begitulah kiranya perkataan sang Ayah. Keret pun memberikan penjelasan kapada ayahnya
yang ia dapat dari laman Wikipedia. Bahwa mayoritas penduduk Bali beragama
Hindu. Namun dengan sarkastis sang Ayah bersikeras bahwa tidak perlu pilihan
mayoritas untuk menembakkan peluru ke kepala Keret. Sebab orang Yahudi yang
hidup dan bernapas adalah santapan lezat bagi Indonesia, lanjut Ayah Keret.
Namun Keret tetap menghadiri festival tersebut dan bertemu dengan orang-orang
yang tersenyum ramah dan sambutan hangat meski dengan tatapan yang aneh.
Cerita
unik lainnya perihal game Angry Bird.
Di samping terdapat hewan yang menggemaskan dan suara yang manis, Keret
mengorelasikan antara game Angry Bird
dengan semangat kaum fundamentalis-religius. Dalam pembuka game tersebut, tergambar babi-babi yang mencuri telur para burung.
Namun mengapa harus babi? Bukan binatang lain yang lebih tertarik pada telur
burung. Keret berprasangka bahwa si pembuat game
lebih memilih babi gemuk kapitalis berwarna hijau ibarat uang dolar. Selain
itu, menurutnya Babi, dalam retorika muslim fanatik sering digunakan sebagai simbol
ras sesat yang takdirnya adalah kematian. Ditambah, burung-burung tersebut rela
mati demi menghancurkan musuh-musuhnya.
Buku
setebal 198 halaman ini semacam
buku harian Etgar Keret. Ia
menceritakan penggalan peristiwa
sehari-harinya yang ditulis dalam bahasa
tutur dan gaya yang cukup bebas. Walau demikian, Keret
tidak menanggalkan background dia
sebagai seorang ayah, seorang Yahudi, dan tentu saja seorang penulis.
Dalam
buku ini, Keret dengan jenaka berkomentar soal perang-abadi, Yahudi-paranoid
dan Anti-Semit. Ia seperti memberi point
of view yang berbeda bagi orang-orang yang selama ini tengah pro kepada
salah satu pihak pada perang antara Israel-Palestina. Keret dengan bebas
bertutur mengenai kehidupannya yang tinggal di daerah konflik. Tak ayal jika ia
juga mempuyai ide perdamaian,versi Etgar Keret.
Penulis
yang baik selalu mempunyai ruang untuk mengejek diri sendiri. Daripada sebuah
buku harian atau kritik terhadap negaranya, The Seven Good Years lebih kepada
tertawaan atas kehidupan Keret yang tinggal di daerah konflik. Lewat cara
pandangnya yang unik dan jenaka, ia menjadikan humor sebagai kritik atas
dirinya sendiri. Ia pun berbesar hati untuk membagi kisahnya kepada khayalak.
Membaca buku ini berarti bahwa kita tengah tertawa bersama Etgar Keret yang
menertawakan kehidupan. Jika ada yang
menanggap bahwa buku ini berisi pesan-pesan perdamaian dan keberpihakan Keret,
mungkin itu sisi lain dari panggilan nurani pembaca. Namun tidak salah jika
tiap manusia menghendaki cinta kasih dan kedamaian.
Lebih Dekat