Kasih ibu tak terhingga sepanjang masa. Sebuah kasih yang
tak seorang pun dapat menggantikannya. Sebuah kasih yang asalnya dari jiwa
terdalam, untuk kita anak-anak surga, sebagai pembimbing kelak di kemudian hari.
Berjalan meratap kosongnya koridor, memikirkan sekembalinya dari gurun sahara,
kesanggupannya menjadi bunga, sambil memandangi sebuah gambar tanpa warna.
Ada
seorang lelaki yang sangat mirip denganmu di foto dalam dompet itu, tengah menggendong
seorang bayi mungil. Lelaki itu, usianya tiga puluh lima tahun,
tersenyum, dan tampak gagah dengan kemeja yang warnanya tak begitu jelas.
Matanya tampak
berkaca-kaca penuh haru dan harap. Tapi di balik itu, seperti ada
kekhawatiran yang tertahan.
Lelaki
itu ayahmu, sembilan
belas tahun yang lalu. Ia ingin menyambut kehadiran adikmu. Ya, bayi mungil itu
tentu saja adalah adik bungsumu. Hari itu, semestinya ayahmu ada di
sana
menemani detik-detik perjuangan kekasihnya melahirkan adikmu. Sayangnya, ada
tugas yang tak dapat digantikan. Setelah selesai, ia terburu-buru menuju
Puskesmas tempat bidan desa, adikmu akan dilahirkan. Ia tiba dengan baju yang
basah karena
keringat dan nafas yang tersengal-sengal.
Kisah
cinta mereka adalah kisah cinta biasa. Ayahmu adalah seorang petani yang sawahnya
tidak terlalu luas, sebagian hasil panen disimpan untuk makan sehari-hari,
sebagian lagi dijual untuk membeli bahan makanan lain. Dan ibumu, ia seorang
perias pengantin yang cukup terkenal namun penghasilannya tak seberapa.
Sementara itu, sebenarnya ibumu bukanlah
istri pertama ayahmu.
Allah
mempersatukan mereka berdua, hingga sampailah mereka di titik ini. Salah satu
titik dalam garis hidup yang mereka tunggu-tunggu. Kadar penantian mereka akan
kehadiran seorang putri
sudah mencapai tahap gawat. Akhirnya, setelah lebih kurang sepuluh tahun mereka
menanti, dikabulkan juga doa-doa mereka di setiap malam panjang yang
mereka lewati setiap hari:
adikmu hadir disana, sebagai janin kecil yang diperkirakan oleh seorang dukun
beranak berjenis kelamin perempuan, sangat dinantikan.
Sepuluh
tahun.
Manusia
mana di muka
bumi ini yang merindukan seseorang sepuluh tahun lamanya, lantas merasa biasa
saja ketika akhirnya bisa berjumpa dengan yang dirindukan itu? Begitu pula ayah
dan ibumu. Kamu barangkali bisa membayangkannya kerinduan itu, tapi tak
benar-benar bisa merasakannya.
Di
tengah
kekhusukan ia berdoa, terdengar suara tangis yang nyaring. Pintu terbuka,
seorang perawat keluar dengan bayi mungil di tangannya. Dengan
ekspresi penuh rasa bersalah menyerahkan bayi itu, seorang puteri cantik dengan
hidung orang Indonesia yang cenderung pesek.
Ayahmu senang bukan kepalang ia bersimpuh mengucap syukur. Putri yang dalam
benaknya kelak akan merawat mereka ketika tua kelak. Tetanggamu yang bekerja
sebagai wartawan dan ikut menantikan kehadiran adikmu langsung mengabadikan
momen itu.
Beberapa saat kemudian, detik-detik melambat. Sepaket
dengan kalimat bidan yang diucapkan terbata-bata mengubah ekspresi wajah ayahmu
dalam sekejap.
“Mohon
maaf, pak," katanya sambil tertunduk, “Takdir Tuhan berkata
lain, istri bapak berhasil melahirkan putri bapak dengan susah
payah, namun mengalami pendarahan dan tak bisa diselamatkan.”
Ayahmu
tersendak, tubuhnya gemetar. Matanya penuh dengan air mata yang tak dapat
dibendung. Adikmu lantas diserahkan kembali ke pangkuan perawat. Ia
berlari memeluk tubuh ibumu
yang dingin tak bernyawa. Beberapa menit kemudian ia tak sadarkan diri. Kehilangan
gairah
dan semangat hidup untuk kali kedua bukanlah hal yang mudah.
Cukup
lama ayahmu berbaring tak sadarkan diri. Kamu yang saat itu masih duduk di
bangku
Taman Kanak-kanak
tak mengerti apa yang terjadi. Rumahmu ramai, kakakmu yang sudah duduk di
bangku
kelas 5 sekolah dasar menangis di pangkuan pamanmu. Adik lelakimu yang berusia tiga
tahun digendong oleh Bude Warti,
tetangga sebelah rumahmu dan adik bayimu aman bersama dengan bidan desa.
Allah
menciptakan manusia untuk diuji:
apakah akan tunduk kepada-Nya atau justru membangkang dengan dada membusung
sambil terus berjalan menjauh dari-Nya.
Beberapa
hari setelah peristiwa kelahiran yang penuh dengan darah dan air mata, ayahmu
mulai tenang. Adikmu dibawa pulang ke rumah. Dibantu dengan Bik Sri, adik kandung ayahmu, kamu dan
ketiga saudaramu diasuh dengan penuh kasih sayang.
Dua
tahun sudah Bik Sri membantu
mengurusmu dan ketiga saudaramu, hingga ia memutuskan untuk kembali lagi ke
kampungnya dan hanya sekali dalam dua bulan ia berkunjung. Hal ini membuatmu
dan kakakmu tumbuh menjadi mandiri. Sepulang sekolah kamu dan kakakmu
bergantian mengurus kedua adikmu serta mengembala kerbau. Bahkan di
usiamu yang
masih belia kamu sudah bisa ngeliwet nasi, karena ayahmu tak
sempat. Bersyukur kamu memiliki tetangga seperti Bude Warti yang bisa dimintai tolong untuk memasakkan sayur atau
lauk untuk kalian makan.
Dua
kali ditinggal oleh sang kekasih untuk selamanya membuatnya menjadi seorang
pria berwatak dingin dan acuh, termasuk denganmu dan ketiga saudaramu. Kamu
tumbuh sebagai anak yang kekurangan kasih sayang. Dalam benak ayahmu hanya ada
kalimat “yang penting aku sudah menepati janjiku untuk membesarkan anak-anak”
tanpa memikirkan bahwa kalian juga memerlukan kasih sayang dan perhatian.
Kamu
beranjak dewasa, adik bayi mungilmu tumbuh menjadi gadis cantik yang sama
sepertimu, penuh kemandirian. Membagi waktu untuk mengasuh adik dan mengembala
kerbau, membuatmu kehilangan banyak waktu untuk mengulang pelajaran di rumah.
Meski kamu bukan siswa yang pandai setidaknya kamu masih memiliki kemauan untuk
belajar dan membantu adikmu belajar.
Hari
itu tanggal 21 Desember. Adik perempuanmu menghampirimu, ia bertanya tentang
ibu. Lantas kamu hitam, bak tangki air yang berlubang di dasarnya dan
kamu mencoba menambalnya lagi dengan kertas tipis.
Dengan terbata-bata kau bertanya,
“kenapa dek, kok tiba-tiba tanya
tentang ibu?”
Adikmu
bercerita, bahwa guru Bahasa Indonesia memberi tugas untuk membuat puisi
tentang ibu. Dan setiap siswa wajib membacakan puisinya di
atas panggung
didampingi oleh ibu masing-masing.
Kamu sela jawaban adikmu dalam rintihan, kehangatan pilu
mengalir di pipimu. Adikmu terdiam memandangi wajahmu yang mememarah dengan pipi yang
basah. Puisi untuk ibu? Bagaimana mungkin? Batinmu saat itu. Wajahnya saja dia hanya tahu
dari foto, yang tak begitu jelas. Jangankan dia, kamu pun sudah lupa bagaimana
wajah ibu. Membaca puisi didampingi ibu? Lelucon apalagi itu. Dukun mana yang
harus kamu kunjungi dan dimintai tolong untuk menghidupkan kembali ibumu
beberapa menit saja demi adikmu?
Saat
itu kamu membenci waktu, dan merasa Allah terlalu tega terhadapmu karena ia
telah mengambil ibumu. Hampir lima menit kamu menangis, lalu kamu hapus air
matamu.
“Kita
ke makam
ibu yuk.” Ajakmu. Ucapanmu mengejutkan. Hampir sepuluh tahun kamu menutupi
semuanya dan bertindak
seolah semua baik-baik saja, namun hari itu kamu bertindak sabagaimana
mestinya.
22
Desember, hari ibu. Ya, seharusnya ibu yang berdiri di samping adikmu bukan
kamu, kakaknya. Tapi bagi adikmu itu sudah lebih dari cukup.
Ibuku
adalah kakakku
Kakak memang tak pernah menyusuiku
Kakak juga bukan ayahku
Kakak juga tak membesarkanku.
Tapi setiap pagi
Kakak selalu menyiapkan sarapan untukku
Mengajariku membaca dan berdoa
Ibuku adalah kakakku
Dia yang mengasuhku dengan kasih sayang
Dia bagai bunga di tengah gersangnya gurun sahara
Ibuku adalah kakakku
Digandengnya tanganku
Bersama kami akan pergi menyusul ibu
Di surga nanti
Puisi
singkat namun mengharukan. Guru-guru dan wali murid yang datang bertepuk
tangan, sebagian lagi sibuk menyeka air mata.
*
Sifat
acuh dan keras kepala ayahmu masih terus berlanjut sampai kamu lulus dari
bangku sekolah menengah atas. Kemauanmu untuk melanjutkan sekolah ke perguruan
tinggi ditolak mentah-mentah oleh ayahmu. Baginya sekolah sampai menengah atas
itu sudah luar biasa, dibandingkan teman-teman seusiamu yang hanya lulus SMP
atau bahkan SD.
Dengan
tekat yang bulat dan nekat, kamu jual kerbau milik ayahmu. Kamu berangkat ke
Yogyakarta, tanpa berpamitan langsung dengan ayahmu. Kamu hanya menuliskan
surat berisi permintaan maaf dan doa restu, kamu juga berjanji akan menjadi
orang sukses yang lebih baik dari ayahmu. Surat itu kamu titipkan adik
perempuanmu yang tak berhenti mengalir air matanya.
Tujuh
puluh dua jam perjalanan dari desamu menuju ke Yogyakarta, tanpa tujuan yang
pasti. Kamu bersinggah di Masjid As-Salam, desa Sutopadan, kelurahan Kasian,
Bantul, Yogyakarta, dekat kampusmu. Di sana kamu dipertemukan dengan seorang pria
seumuran dengan ayahmu. Bapak
Sabar, yang
memberimu izin untuk menjadi takmir masjid.
Hidup
alakadarnya, kiriman uang tak tentu datang, kamu terus berusaha untuk kuliah.
Bekerja serabutan kesana-kemari, mengerjakan apa saja yang bisa kamu kerjakan
untuk biaya kuliah. Semangatmu tak pernah padam karena janji yang kamu buat
selalu kau ingat.
***
Hari
itu kamu diwisuda. Jalanan sempit sesak dipenuhi dengan kendaraan orang tua
para wisudawan-wisudawati, meski orang tuamu tak termasuk di
antara
mereka. Ketika yang lain didampingi oleh orang tua dan keluarga, kamu hanya
didampingi oleh selembar kertas, foto ayah dan adik bungsumu sembilan belas tahun yang
lalu. Sembilan
semester kau tempuh untuk mendapatkan gelar S.Ag dengan indeks prestasi hanya
2,75 setidaknya kamu sudah berhasil melewati rintangan-rintangan itu.
Setelah
empat setengah tahun kau merantau, tibalah saat itu kau kembali ke kampung
halamanmu dengan rasa bahagia dan bangga karena telah berhasil menepati janjimu
kepada ayahmu.
Kamu
percepat langkahmu agar segera menemui adik dan ayahmu. Namun, seketika langkahmu
justru melambat ketika sudah hampir sampai di halaman rumah. Rumahmu
ramai.
Kamu
teringat akan peristiwa enam belas tahun yang lalu, yang tampak samar di
ingatanmu.
Peristiwa ketika rumahmu ramai dan penuh dengan airmata. Langkahmu terhenti,
hati begitu penuh dengan ketakutan seolah tanpa harapan. Pipimu mulai basah,
becek karena air mata. Setelah hampir satu menit kau berhenti dan berpikir,
lantas segera kau lari menuju rumah tanpa menghiraukan tas bawaanmu.
Dengan
airmata yang belum terbendung kamu masuk ke dalam rumah. Ya,
peristiwa enam belas tahun yang lalu kembali terulang. Kau peluk ayahmu dengan
erat sambil menangis tersendu-sendu, hingga kau merasa lega. Rumahmu ramai dan
penuh air mata.
Namun,
kali ini air mata
haru dan kebahagiaan. Setelah enam belas tahun, akhirnya ayahmu yang dingin dan
keras kepala menemukan kehangatannya, yang melembutkan kembali hatinya. Ayahmu
menikahi seorang janda. Yang kelak kau panggil ibu. Meski kau sempat merasa
kecewa karena ayahmu tak memberimu kabar akan pernikahannya, kamu tetap merasa
bahagia dan bersyukur karena Allah telah mengembalikan ayahmu seperti dahulu, dan adik
perempuanmu kini sudah lulus dari sekolah menengah atas dan akan melanjutkan ke
perguruan tinggi negeri terbaik di pulau sumatera. Tentu, dengan restu dari
ayahmu.
Yakinlah
bahwa segala bentuk ketertekanan yang menderamu, adalah cara Tuhan untuk
membuatmu lebih kuat. Memaksamu untuk mengoptimalkan semua potensi yang ada,
karena setiap kita memiliki benih untuk menjadi hebat. Jadi, melangkahlah.
*)Kru Magang LPM Frekuensi
Prodi Pend. Kimia
Angkatan 2017
Angkatan 2017
Lebih Dekat