Ilustrasi/ google.com |
Oleh: Lailatus Syarifah*
Angin semu berembus lembut dari utara ke selatan,
pagi ini. Menerbangkan dedaunan kering
yang terserak
tak karuan di jalanan. Sementara di ujung jalan,
seorang gadis muda; berambut hitam pekat terurai panjang,
sorot matanya berbinar, dan berbulu mata
lentik namun tampak layu. Pandangan matanya kosong, usikan
angin dan kicauan burung tak berhasil
mengubah pendiriannya. Tubuhnya membeku dihunjam
waktu. Namun, siapa sangka di balik
tubuh dinginnya, tersimpan letupan-letupan pertanyaan yang mampu membungkam tiap orang yang mendengarnya.
Dilema
telah menghanyutkan nuraninya. Di satu sisi, menurut perasaannya sebagai
perempuan, ia menolak keputusannya untuk mengakhiri ikatan kasih itu. Namun, di
lain sisi, Sang Penali Kasih tengah mendera
hatinya tak ada ampun, dengan bermacam
siksaan yang sanggup menggugurkan daun muda dari tangkainya.
“Apa
yang kau sesalkan dari perpisahan ini? Bukankah ia telah banyak menyakitimu? Perkataan
yang ia lontarkan sama sekali tak pantas diucapkan seorang pria sejati,” suara
seorang lelaki tua mendadak menyusup ke lubang telinganya. Ia tersentak kaget dan refleks menolah-noleh
ke berbagai arah. Namun, tiada
siapa-siapa di tempat itu, kecuali gesekan mesra dedaunan kering di sepanjang
jalan.
Dan kini ia
kembali dilanda sepi.
***
Tak
terasa telah sepuluh
jam ia termenung di sana seorang diri.
Badannya melemah, dan air matanya
kerontang. Ia menghabiskan waktu dengan penuh kesia-siaan.
“Mengapa harus begini, Dam? Mengapa kau memilih dia,
padahal ...” si gadis tiba-tiba terdiam,
air matanya kembali
meluber. “Aku
harus bagaimana lagi, Tuhan?” Ia meratap memilukan hati.
Gadis
bermata lentik itu menangis tak ada henti,
menyalahkan siapa saja yang terlintas di benaknya. Hidup tak lagi adil, setidaknya
begitu baginya sekarang.
Matahari
menyurut, angin darat mulai bertiup. Hawa dingin
kembali merebak menusuk
tulang. Dengan gontai, ia melangkahkan kedua kaki ke peraduannya, meninggalkan
tempat di mana
hatinya pernah begitu berbunga-bunga.
Tempat di mana ia
pernah menggantungkan berkarung-karung harapan
kepada
seorang pria. Tempat di mana ikrar sehidup semati
pernah digaungkan, bergema di sekujur
angkasa serta diamini seisi
bumi dan langit.
Ah,
tapi ia telah dibuat jemu
oleh kata-kata klisenya.
Muak sudah dirinya mengagumi pria berhati iblis
itu. Andaikan ia malaikat, sudah dicabutnya
Bukit Pualam dari akar-akarnya untuk kemudian ditimpakan ke atas sang pria
keparat. Namun, ia
tak mampu. Ia sungguh tak
mampu melakukannya. Kaki-tangannya
terlalu lemah untuk itu semua. Hatinya
telanjur terpecah belah, terserak
di
mana-mana. Mulutnya bak terkunci rapat usai mendengar pernyataan sang pria keparat. Ia bagai tersambar geledek di siang bolong.
Kini air matanya
mengering
sudah, langkahnya
patah-patah, matanya sendu. Ia biarkan rambutnya terurai dan tersibak angin
senja.
Sementara di pojok taman, seorang
lelaki tua berjenggot putih tengah duduk, khusyuk memandangi
gadis bermata lentik tadi.
“Wahai
gadis muda, apa yang membuatmu resah
hingga wajahmu kusut bagai baju yang tak pernah mengenal setrika?“ tanya lelaki tua itu, menyapa. “Kemarilah, duduk bersamaku, ceritakan semuanya
kepadaku, barangkali aku bisa membantumu,” lanjutnya sambil
bergeser mempersilakan si gadis duduk di sampingnya. Sang Gadis seolah
terhipnotis kata-katanya dan segera
mendekati si lelaki
tua. Dengan langkah gontai ia menuju
ke tempat lelaki tua itu tanpa ragu.
Sekonyong-konyong hawa
dingin menyergap tubuhnya. Daun-daun berterbangan seolah memberi sebuah isyarat.
Namun, ia tak menyadari hal itu.
“Aku
adalah kematian, sepanjang malam aku lelah memilih siapa yang rela memberikan
napasnya untuk kupintal bersama cahaya dan
membawanya ke angkasa. Jika rambut putihku bertambah satu helai, maka
berkuranglah satu kehidupan, karena roh manusia yang kubawa akan menempel di
ubanku,” ucap lelaki tua itu mantap.
“Pak
Tua, aku bahkan telah mati, jauh sebelum Tuhan menciptakan kematianku,” balas
Sang Gadis
sambil beranjak meninggalkannya.
Lelaki tua itu
mematung melihat
Sang Gadis berlalu dari hadapannya.
Keesokan
harinya, Sang Gadis kembali menemui lelaki tua tersebut di tempat
biasanya, lalu menceritakan
semuanya dari awal sampai akhir.
Hingga akhirnya Sang Gadis berucap, “Pak Tua, jika yang kau minta adalah
kematianku, maka aku sudah kehilangan itu sejak lama. Sejak kekasihku pergi
pada suatu senja yang buta.” Sang Gadis
terus menatap si lelaki tua, bersiap menuntaskan ceritanya. “Aku
merasa kematian telah merasukiku melalui lubang mulut dan hidungku. Kau bisa
mengambil kematianku kapan saja, bahkan malam ini.”
“Baik,
tunggulah kedatanganku malam nanti, dan aku akan melepas kesedihan dan rohmu,”
kata Pak Tua menyanggupi.
Malam
itu, Sang Gadis menunggu Pak Tua datang mengambil nyawanya,
dan ia akan segera
bersukaria merayakan kematiannya.
Namun, di luar dugaan, Pak Tua tak kunjung datang. Ia tak menepati janjinya. Kemudian ditunggunya
hingga esok malam, dan
rupanya Pak Tua tak juga menampakkan batang hidungnya. Hal ini terus
berulang berhari-hari kemudian.
Sang
Gadis pun penasaran dan mulai mencari keberadaan Pak Tua, hingga suatu hari ia
menemukan mayatnya teronggok menyedihkan di bangku taman. Sang Gadis pun terkejut, tak percaya atas
apa yang dilihatnya. Kematian Pak Tua dalam satu dan lain hal telah memberinya
banyak pelajaran. Namun yang
terpenting ialah, ia akan
selalu mempertahankan hidupnya sepahit
apapun itu. Karena
tiap-tiap masalah akan mendewasakannya dengan berbagai macam cara yang tak
terduga sekalipun.
*) Mahasiswi Pendidikan
Matematika dan Calon Kru Magang LPM Frekuensi angkatan 2018
Lebih Dekat