Ilustrasi google.com |
Belakangan
ini terdengar kabar dua toko buku Ki
Ageng di Kediri, Jawa Timur dirazia oleh aparat keamanan lantaran menjual
buku-buku yang diduga berisi paham komunis. Begitu saya membaca di beberapa portal berita daring,
sejenak saya menghela napas dan berpikir bahwa sekarang sudah bukan zamannya lagi hal semacam itu. Bagi
saya, pelarangan buku di masa sekarang itu kuno, lagu lama dan bagian dari
kecanduan nostalgik. Pun perbuatan keblinger yang seringkali salah alamat. Meminjam
istilah Benedict Anderson dalam buku Hidup di Luar Tempurung, Indonesia
memiliki masyarakat baru dan negara lama, artinya warga negara yang sudah
memiliki kepercayaan lebih besar di hadapan penguasa sejak 1998 misalnya dengan
kecaman yang diutarakan terkait pelarangan buku namun pada praktiknya seakan
hukum mengenai penyensoran yang ditetapkan pada masa lampau (Orde Lama dan Orde
Baru) masih terus berlanjut.
Berangkat dari sejarah, Indonesia termasuk negara
yang sering memberedel, melarang, menyita, bahkan menghancurkan buku. Tercatat Orde lama sempat mengeluarkan Undang-Undang
(UU) Nomor 4 PNPS/1963 yang membuat Kejaksaan Agung punya hak untuk melarang
buku dan semua barang cetakan yang dianggap mengganggu ketertiban umum.
Meskipun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak mengesahkannya, namun Presiden
Soekarno tetap memuluskan peraturan itu dengan menjadikannya sebagai Peraturan
Presiden. Selanjutnya, kewenangan tersebut diteruskan oleh Orde Baru yang
tercatat paling banyak melarang buku dan barang cetakan lainnnya.
Radio Buku mencatat dalam kurun waktu 1959-2009, lebih dari 300
buku dilarang beredar oleh pemerintah Indonesia. Adapun pengarang yang bukunya
paling banyak dilarang adalah Pramoedya Ananta Toer. Pada 1959, Hoakiau di
Indonesia dilarang, disusul dengan Keluarga Gerilya, Mereka yang
Dilumpuhkan, Perburuan, Bukan Pasar Malam, hingga Tjerita dari Blora. Kurang
lebih 24 judul buku pengarang asal Blora ini dilarang oleh pemerintah.
Kebanyakan
buku dilarang di Indonesia ini dikarenakan alasan ideologis. Dianggap
membahayakan Pancasila, meresahkan masyarakat, hingga karena ditulis oleh lawan
politik. Oleh karena itu, sejak Orde Baru berkuasa, sebagian karya yang
diberedel adalah karya penulis Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yang
berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia. Pun penulis yang diduga punya
kedekatan dengan Uni Soviet. Ada sekitar 174 buku dan majalah baik dalam dan
luar negeri yang dilarang oleh Lembaga yang disebut dengan Tim
Pelaksana/Pengawasan Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme DKI Jaya. Tak
hanya bertautan dengan ideologi negara, Indonesia juga pernah melarang
peredaran buku karena kebudayaan. Pemerintah melarang semua buku beraksara
Cina.
Pelarangan
buku tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi di
seluruh dunia. Alasan yang digunakan untuk melarang peredaran buku antara lain
bahasa yang kasar, deskripsi seks yang jelas, perilaku seks yang menyimpang, perbedaan ideologi politik,
penyerangan terhadap suatu ras.
Pakar
perbukuan asal Venezuela, Fernando Baez, menyaksikan bagaimana peradaban
digempur melalui pembakaran buku dan perusakan museum ketika ia berada di Irak
yang kala itu Baghdad dihancurkan Amerika Serikat pada Mei 2003 silam. Pasca
itulah Baez dihantui pertanyaan mengapa manusia menghancurkan buku? Ia
pun meneliti dan menulisnya.
Baez
menyatakan bahwa buku-buku dihancurkan bukan oleh orang awam yang pendidikan
dan pengetahuannya kurang, melainkan justru karena kaum terdidik dengan motif
ideologis masing-masing.
Misal,
Buku The Satanic Verses karya Salman Rushdie terlarang di Iran lantaran
dianggap menghina ajaran Islam dan Nabi Muhammad. Bahkan, ulama di negeri itu
menghalalkan darah Rushdie melalui fatwa mati.
Lalu,
pelarangan novel Animal Farm karya George Orwell di Uni Arab Emirat
sejak 2002. Pemerintah menyatakan bahwa Animal Farm bertentangan dengan
nlai-nilai islam karena, salah satunya menampilkan babi yang bisa bicara. Namun
sepertinya itu hanya alibi belaka. Bisa jadi mereka takut rakyat punya
kesadaran kelas, sebagaimana binatang-binatang dalam fabel politik tersebut.
Masih banyak lagi kejadian serupa.
Biblioklas,
begitu
kira-kira istilah yang menggambarkan orang-orang pembenci buku karena potensi
pengetahuan yang ditawarkannya. Biblioklas merupakan orang yang
berpendidikan, perfeksionis, berbudaya, mempunyai bakat intelektual yang tidak
biasa namun cenderung represif, berada dalam lembaga yang mewakili kekuatan
yang sedang berkuasa, tidak mampu menolerir kritik, dengan fanatisme berlebih
pada agama dan paham-paham tertentu.
Pemerintah
Indonesia agaknya terinspirasi dari Nazi yang membakar puluhan ribu buku yang
mereka anggap tidak mencerminkan semangat Jerman, pada 10 Mei 1933. Pun selama
Perang Dunia II, Nazi setidaknya telah membakar 100 juta buku di daerah
pendudukannya. Fasisme bisa jadi selamanya tak bisa sepakat atas semangat
kebebasan berpikir yang diusung oleh buku-buku.
Selain
itu, di Spanyol pada tahun 1930an juga melakukan hal serupa, yakni pada saat
rezim Jenderal Franco. Sisa pendukungnya membakar Pompeu Fabra pasca ia kalah
dari pasukan nasionalis. Pompeu Fabra adalah perpustakaan utama yang menyimpan
berbagai buku dalam Bahasa Catalan. Tantara utusannya melakukan pemberangusan
itu dengan meneriakkan “Mampuslah Para Pemikir!”.
Terkait
penyitaan buku di Kediri oleh Polisi dan TNI, penyitaan ini berkebalikan dengan
klaim militer setempat yang mengaku Razia tersebut dilakukan secara prosedural
dan mengedepankan hukum. Pasalnya, dalam rilis Direktur Eksekutif Institute
for Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara pada Jumat (28/12), menilai
bahwa penyitaan buku yang sesuai
prosedur hukum yang berlaku adalah dengan mendapat perintah dari pengadilan dan
tidak sewanang-wenang. Hal itu dikarenakan Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963
tentang Pengamanan Barang-Barang Cetak yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban
Umum telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK) per 2010 silam dengan
mengeluarkan putusan nomor 20/PUU-VIII/2010.
Itu
artinya ketentuan hukum yang berlaku saat ini mengamanatkan agar seluruh
perbuatan aparat penegak hukum untuk melakukan penyitaan terhadap buku yang
diduga melanggar dan bertentangan perundang-undangan wajib untuk dilakukan
melalui pemerintah pengadilan terlebih dahulu.
Sejalan
dengan Bapak Pendidikan di Indonesia, Ki Hadjar Dewantara, saya tetap percaya
bahwa kemajuan bangsa ini bertumpu pada membaca lebih banyak buku, bukan
melarang lebih banyak buku, dan pada keyakinan diri serta kemerdekaan berpikir
rakyatnya, bukan pada kepatuhan intelektual yang dipaksakan oleh negara. Tabik.
Lebih Dekat