(Ilustrasi/ Paul) |
Nasib
Lembaga Pers Mahasiswa Suara Universitas Sumatera Utara (USU) di ujung tanduk. Pasalnya,
cerita pendek (Cerpen) berjudul Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya karya Yael Stefany
Sinaga yang diterbitkan
di situs suarausu.co pada 12 Maret 2019 dianggap bermuatan pornografi
dan mengampanyekan Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) oleh Rektor
USU, Runtung Sitepu. Atas kejadian itu, Suara USU dipanggil pihak rektorat.
Mereka mendapati intervensi seperti melarang penayangan tulisan yang senada dan
menyuruh pengurus untuk mencabut cerpen yang sudah diunggahnya. Tak hanya itu,
pihak rektorat juga membekukan aktivitas dan mengancam Suara USU jikalau cerpen
itu tak lekas ditarik.
Pengurus
Suara USU merasa tak ada maksud apa pun dengan konten tersebut sehingga mereka
menolak permintaan rektorat. Akibatnya, sekembalinya pemimpin redaksi menemui
pihak rektorat pada 19 Maret 2019, Instagram Suara USU sempat di-report dan
keesokan harinya situs suarausu.co disuspensi –yang menurut keterangan
tertulis dari redaksi dilakukan oleh penyedia jasa layanan website, Sanger
Production, atas sepengetahuan rektor.
Tak
berhenti sampai di situ, setelah 18 pengurus Suara USU mendapat undangan dari
humas USU pada 24 Maret 2019 guna membahas cerpen yang viral tersebut, audiensi
berbuntut pada pemecatan semua anggota dan pengurus Suara USU periode 2019
melalui Surat Keputusan Rektor Nomor 1319/UN5.1.R/SK/KMS/2019 tertanggal 25 Maret
2019. Pun, diharuskan membereskan sekretariat selambat-lambatnya hari Kamis, 28
Maret 2019.
Intervensi
Berlebihan dari Rektorat Mengenai Produk Persma
“Kau
dengar? Tidak akan ada laki-laki yang mau memasukkan barangnya ke tempatmu itu.
Kau sungguh menjijikkan. Rahimmu akan tertutup. Percayalah sperma laki-laki
manapun tidak tahan singgah terhadapmu.”
Sepenggal
kalimat tersebut yang dianggap Runtung berbau pornografi dan kampanye salah
satu orientasi seksual. Padahal jika ditelisik lebih lanjut, cerpen tersebut tidak
tendensius, bercerita tentang salah satu bentuk diskriminasi kaum minoritas,
bukan mengarah pada pornografi –yang di KBBI berarti menggambarkan tingkah laku
erotis sehingga bisa membangkitkan nafsu berahi. Jika kata “barang”, “sperma”,
dan “rahim” dianggap pornografi dan terlalu vulgar, seharusnya buku-buku
pelajaran yang terdapat kata itu, misalnya buku pelajaran Biologi tingkat
sekolah dasar dan menengah yang terdapat bab alat reproduksi, buku Biologi
anggitan Jane B. Reece dan Neil A. Campbell yang digunakan sebagai diktat
kuliah kebanyakan mahasiswa juga termasuk berbau pornografi. Pun, dalam karya
sastra, adalah wajar jika terdapat penggunaan bahasa yang mungkin erotis atau
vulgar. Jika hal itu dianggap tidak wajar, karya sastra anggitan Eka Kurniawan,
Djenar Maesa Ayu, Ayu Utami, bahkan karya stensilan Enny Arrow sejak dulu kala
harusnya dilarang terbit dan dicekal peredarannya.
Sikap
pihak rektorat USU yang menyikapi secara berlebihan karya sastra Pemimpin Umum
Suara USU ini sebentuk tindakan sewenang-wenang, tidak demokratis, dan
inkonstitusional. Pihak rektorat tidak berpedoman pada Undang-Undang Nomor 12
tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi yang mengatur penyelenggaraan universitas
dilaksanakan dengan prinsip demokratis dan berkeadilan serta tidak
diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai
budaya, kemajemukan, persatuan, dan kesatuan bangsa. Hal senada termaktub dalam
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 28 E ayat (2) yang menjadi nilai-nilai
demokrasi dan hak kebebasan berekspresi yang harus dimiliki semua orang tanpa
terkecuali.
Kesewenang-wenangan dan intervensi yang
terlampau jauh terhadap ruang redaksi oleh rektor juga bisa dibantah menggunakan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat di
muka umum adalah hak asasi manusia yang dijamin UUD 1945 dan Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), AD/ART Persma Suara USU, serta Statuta USU
yang dipaparkan dalam rilisnya pada Kamis, 28 Maret 2019, melalui laman suarausu.co.
Rektor
USU yang seyogianya mencerminkan dan menjunjung
tinggi kebebasan berekspresi di kampus justru telah mencederainya dengan
putusan yang tidak didasari dengan telaah akademis, melainkan atas dasar
tuduhan semata. Keputusan itu dinilai sebagai preseden buruk bagi pers
mahasiswa. Segala bentuk tindakan represif apa pun dari institusi pendidikan ke
pers mahasiswa terlebih dalam ranah kebebasan berpendapat tak boleh dibiarkan
begitu saja. Tindakan menghalangi kebebasan pers dan kerja jurnalistik harus
ditentang dan dilawan karena jika tidak ada perlawanan akan terulang kembali
kasus-kasus serupa.
Tugas
pers mahasiswa bukanlah sebagai humas kampus –seperti yang diimpikan oleh
rektor USU yang bisa terbaca maksudnya melalui rencana rekrutmen yang difasilitasi
oleh Biro Kemahasiswaan pasca memecat pengurus Suara USU, melainkan sebagai
penyalur aspirasi, mengawal kebijakan-kebijakan, memperjuangkan hak-hak kaum
tertindas, memperjuangkan kebenaran dan keadilan, mewujudkan kontrol sosial
dalam menghadapi isu-isu yang ada baik di dalam maupun di luar kampus. Maka
dari itu, adalah suatu keharusan untuk merapatkan barisan, bersolidaritas dengan
mengajak seluruh elemen masyarakat guna mendukung penuh Persma Suara USU dan
melawan tindakan sewenang-wenang pihak rektorat yang telah merenggut kebebasan
pers di Indonesia, terutama pers mahasiswa. Tabik.[]
(Infografis/ Paul) |
0 Komentar