Ilustrasi: google.com
Jika cinta itu seni, maka ia membutuhkan pengetahuan dan usaha. Ataukah
cinta itu hanya perasaan menyenangkan, yang kebetulan jatuh pada mereka yang
beruntung?
Kalimat di atas saya kutip dari buku anggitan Erich Fromm
yang berjudul The Art of Loving. Buku ini menawarkan alternatif cara pandang
kita terhadap cinta.
Aktivitas yang menonjol dalam kehidupan manusia modern
menyoal cinta menimbulkan pertanyaan penting ihwal subjek cinta itu sendiri.
Mengapa manusia dalam menghadapi proses mencintai selalu menerapkan
standar-standar tertentu? Misal, mengapa seorang laki-laki mencari perempuan
yang bertubuh sintal, ramput panjang terurai, berkulit putih? Mengapa perempuan
memantaskan dirinya dengan cara berdandan cantik dan bersifat lembut, dan laki-laki
dengan berpendidikan tinggi, serta berpenghasilan mapan? Mengapa kita dalam
menjalin hubungan selalu mencari “The
right one”? Mengapa demikian terjadi? Apakah mencintai sekadar menyoal
objektifikasi, tentang kemampuan, atau justru ada hal lain?
Fromm menduga perdebatan itu tak terlepas dari pengaruh
abad Victoria, di mana upaya
mencintai dan jatuh cinta bukanlah spontanitas atau terjadi secara tiba-tiba. Perkawinan
telah diatur dengan batasan-batasan dan pertimbangan tertentu. Walakin, saya
menduga bahwa jauh sebelum abad itu, memang status sosial telah menjadi salah
satu faktor penentu mencintai atau tidaknya seseorang. Sederhananya, keadaanlah
yang menuntut manusia untuk mencintai dan dicintai sesuai dengan pertimbangan
yang nantinya akan berpengaruh di kehidupannya.
Meski batas status tidak lagi menjadi sesuatu hal yang
dipersoalkan, namun pertimbangan-pertimbangan tersebut masih ada dan beralih
menjadi sesuatu yang nampak dalam diri atau sifatnya materiil. Sesuatu yang
nampak dalam diri atau materi ini, Fromm mengungkapkannya sebagai bentuk objek.
Objek tersebut tentu tidak dapat disamaratakan, sebab ini termasuk sebagai
selera atau kebutuhan individu. Sebagai individu, manusia menginginkan sesuatu
yang menarik. Menarik, Fromm menanggapinya sebagai pihak yang pantas diharapkan
lantaran sederet atribut yang ia miliki, atau model karakter yang selalu dicari
dalam pasar-pasar kepribadian. Kepribadian telah menjadi komoditas yang dilabeli
dengan harga, diperjual-belikan, yang nilainya akan fluktuatif sejalan dengan perilaku
pasar.
Menyoal cinta, orang-orang modern juga cenderung
menanggapinya sebagai sebuah komoditas, sesuatu yang dapat diperoleh semata
karena cinta dikehendaki, bukan lagi sebagai sebuah kemampuan yang tujukan
untuk orang lain. Lalu orang-orang berlomba-lomba untuk menjadi pribadi yang
layak dicintai ketimbang menjadi pribadi yang sanggup mencintai.
Dalam Seni Mencintai, Fromm banyak menyinggung
konsep-konsep Freud. Konsep cinta yang disodorkan Fromm berlawanan dengan
konsep “setiap cinta berbasis seksual” yang disodorkan Freud. Menurut Fromm,
demi kemajuan psikoanalisis, teori Freud hendaknya juga diterjemahkan dari
fisiologis ke dimensi biologis dan eksistensial. Fromm mengatakan “kita salah
bila menilai terlalu tinggi pengaruh gagasan Freud pada konsep bahwa cinta
adalah hasil dari ketertarikan seksual”, tetapi dengan merasa perlu membantah
konsep-konsep Freud untuk meyakinkan pembaca akan “kebenaran” konsep Fromm,
maka secara tidak langsung ia sendiri mengakui “tingginya pengaruh” itu.
Menurut Fromm, cinta dipandang sebagai sebuah bentuk
pencapaian kesatuan interpersonal melalui peleburan dengan orang lain. Keduanya
merupakan penyelesaian terhadap masalah eksistensial, bukan membicarakan
tentang ragam cara atau jalan melaluinya. Sebab ketika cinta
dan peleburan interpersonal dianggap sebagai cara atau jalan mengakibatkan
hanya berputar di persoalan “bentuk”, sebatas kesatuan simbiotik. Kesatuan
simbiotik memiliki pola biologis, misalnya ibu hamil dan janin yang merupakan
entitas berbeda, namun pada dasarnya mereka adalah satu, dan saling membutuhkan
satu sama lain.
Kesatuan simbiotik, sikap mental yang didasari dengan
obsesi untuk memiliki bisa
menjerumuskan manusia pada lubang sadisme
dan masokisme. Masokisme adalah rasa
gagal dalam upaya melawan kesadaran akan keterpisahan sehingga mengakibatkan
subjek memilih untuk melarikan diri dan menjadi bagian dari diri orang lain
yang mampu mengendalikan, mengarahkan, dan melindunginya. Masokisme mewujud dalam bentuk membiarkan diri dihina,
dieksploitasi, dan disakiti. Sedangkan, sadisme, menurut Fromm, adalah rasa
gagal dalam upaya melawan kesadaran akan keterpisahan sehingga membuatnya
memilih menjadikan orang lain sebagai bagian dari dirinya, dengan demikian ia
dapat mengukuhkan kembali dirinya. Sadisme mewujud dalam bentuk memerintah,
mengeksploitasi, menyakiti, menghina. Sekilas memang tak ada bedanya. Namun
keduanya sama-sama dikuasai oleh motif yang sama, yakni peleburan diri tanpa
integritas.
Patologi mencintai tersebut berakar dari anggapan bahwa
cinta seolah-olah berhubungan dengan result
yang dapat dinikmati, bukan sebagai kemampuan diri untuk terus menerus
berproses. Pribadi yang menanggapi pengalaman mencintai sebagai suatu momen
perolehan, ia menjadi mudah terserap ke dalam diri orang yang dicintainya,
karena cinta diperlakukan seperti sebuah objek yang dihasrati. Berbeda lagi
jikalau ketika pengalaman mencintai ditanggapi sebagai upaya memahami
terus-menerus orang yang dicintai dalam rangka mencapai taraf persekutuan
objektif: mencintai didasari kesadaran bahwa hanya dengan memberikan sesuatu
yang berharga kepada orang yang dicintai yang akan menjadikan orang waspada
terhadap setiap kemungkinan yang akan terjadi. Karena itulah, pengalaman
mencintai yang terakhir ini akan lebih tepat bila digambarkan sebagai standing
in love, berdiri atau waspada karena cinta, ketimbang momen falling in love, terjatuh karena cinta.
Kemampuan tersebut harus mewujud dalam kemampuan mengandaikan sesuatu yang
disadari, bukan tidak disadari atau bahkan dikendalikan. Pun, mewujud dengan
tindak memberi, bukan menerima.
Bagi Fromm, laku memberi dalam cinta bukan berarti ia
mengorbankan, bentuk pengorbanan yang ditujukan agar mendapatkan imbalan.
Bahkan, sampai menyangkutkan hal ini
dengan adagium “tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah” tentang memberi
yang diartikan sebagai pengorbanan.
Memberi adalah bentuk ekspresi tertinggi dari potensi
yang ada dalam diri mereka, sebagai manusia.
Dalam hal ini, individu
memberikan apa yang hidup dalam dirinya, seperti pemahaman, kegembiraan, pengetahuan,
kesedihan, dan apa-apa yang termanifestasi dalam dirinya. Memberi, nantinya
akan mewujud sebagai sebuah ungkapan terima kasih. Maka dari itu, bagi Fromm,
cinta yang matang adalah bentuk kesatuan dengan seseorang di bawah kondisi
saling tetap mempertahankan integritas dan individualitas masing-masing, atau
ia menegaskannya dengan ungkapan fenomena di mana dua sosok menjadi satu namun keduanya
tetap memiliki kedirian masing-masing (become
one and yet remains two).
Segala hal tentang cinta akan selalui dimaknai sebagai
sesuatu yang aktif, sebagaimana adanya unsur perhatian, tanggung jawab,
penghargaan, dan memahami dalam persoalan mencintai. Konsekuensinya adalah
cinta dianggap tidak ada jika tidak ada unsur aktif tersebut. Penjabaran
masing-masing unsur, bisa diselami lebih lanjut di buku setebal 192 halaman
ini.
Cinta tidak hanya persoalan hubungan dengan seseorang
sebagai objek, melainkan lebih pada orientasi karakter yang menentukan hubungan
seseorang dengan dunia secara keseluruhan. Dengan mencintai, manusia merasakan
adanya kemampuan dalam dirinya untuk menghasilkan cinta, ketimbang
ketergantungan karena dicintai yang justru mengakibatkan kekerdilan,
ketidakberdayaan, dan kesakitan.
Dengan mencintai, manusia berhasil meninggalkan jerat
kesendirian dan isolasi yang diakibatkan oleh kesadaran akan keterpisahan sebagaimana
narsisme dan egosentrisme. Bentuk egoisme ini dapat digambarkan melalui aktivitas
mencintai tanpa memiliki kepedulian terhadap orang lain. Misal, aktivitas yang
sering dilakukan manusia modern saat ini; mempercayai bahwa ketika pasangan
telah saling memiliki dan menunjukkan segala bentuk perhatian dan kepeduliannya
yang hanya ditujukan kepada pasangannya saja, dianggap sebagai bukti kedalaman
cintanya.
Terakhir, mencintai bukan menyoal mendapatkan objek atau
berusaha mengobjektifikasi, melainkan sebuah kemampuan untuk melihat cinta sebagai
bentuk kegiatan yang melibatkan jiwa. Fromm mengandaikan dengan orang yang
ingin melukis namun tidak mau belajar melukis, dengan alasan ia sedang
menunggu objek yang tepat untuk dilukis. Anggapan seperti itu seolah menegaskan
bahwa jika telah mendapatkan objek yang tepat, maka ia akan mampu melukis
dengan bagus dan sesuai. Padahal pandangan semacam itu kurang tepat.
Cinta adalah orientasi yang mengarah pada semuanya, tidak
pada satu orang saja meskipun ada perbedaan antara obyek yang dicintai dan
jenis cintanya. Jika benar-benar mencintai seseorang, maka sudah seharusnya
untuk mencintai semua orang, mencintai dunia ini, dan mencintai kehidupan.
Misalkan ada seseorang yang mengungkapan, “Aku cinta padamu”, berarti seseorang
tersebut juga harus mampu mengungkapkan “di dalam dirimu, aku mencintai semua
orang, melalui dirimu, aku mencintai seluruh dunia, dan di dalam dirimu, aku
mencintai diriku sendiri.” Begitu.
Saya setuju dengan Erich Fromm bahwa mencintai tidaklah
mudah. Jadi, kira-kira bisakah kita melakukannya? []
Judul
|
: Seni Mencintai
|
Pengarang
|
: Erich Fromm
|
Cetakan
|
: Pertama, Januari 2018
|
Penerbit
|
: Basabasi
|
Tebal
|
: 192 halaman
|
ISBN
|
: 978-602-6651-69-3
|
Peresensi
|
: Zakiyatur Rosidah
|
0 Komentar