(Ilustrasi/ Firman)
Oleh: Firman Hardianto*
“Rajin pangkal pandai,
hemat pangkal kaya.” Barangkali slogan itu
telah lama dikenal oleh kalangan remaja ke atas. Ketika duduk di bangku Sekolah
Dasar (SD), slogan itu telah banyak menghiasi sudut-sudut dan tembok-tembok
sekolah. Bahkan dalam kelas–khususnya mata pelajaran bahasa Indonesia, slogan
tersebut sering menjadi contoh yang dipilih oleh pendidik untuk mengajarkan sub
bab membaca sekaligus menyelipkan nilai keteladanan dari rajin dan hemat.
Dua
hal tersebut sangat cocok dengan peribahasa sekali
dayung dua tiga pulau terlampaui, belajar membaca sekaligus nilai
keteladanan dari rajin dan hemat. Di
mana nilai keteladanan dari rajin merupakan salah satu sebab dari pandai, dan
hemat bisa menjadi salah satu langkah untuk menuju kaya.
Slogan
tersebut dapat diinterpretasi dan dihubungkan dengan hukum kausalitas. Hukum
kausalitas merupakan suatu keniscayaan bagi alam dan kehidupan manusia. Suatu
hal yang dilakukan hari ini memiliki kesinambungan dengan hari esok.
Salah
satu contoh hukum kausalitas yang bisa ditemukan di kehidupan nyata adalah
ketika hutan digunduli, maka besok atau lusa akan terjadi tanah longsor. Contoh
lain salah satunya karena budaya baca yang tinggi dapat menjadikan Jepang sebagai
satu dari banyak negara maju di dunia.
Dalam
memahami hukum kausalitas itu, seorang filsuf dari China, Lao Tse memberikan
gambaran bahwa bermula dari hal kecil dapat mempengaruhi takdir. Lao Tse
menjelaskan bahwa manusia perlu memperhatikan ucapannya karena akan menjadi
tindakan. Tindakan tersebut akan bertransformasi menjadi kebiasaan. Lantas
kebiasaan akan menjadi suatu karakter. Karakter itulah yang dapat mempengaruhi
takdir.
Perintah Membaca
Salah
satu contoh yang telah dibahas adalah budaya baca. Dalam hukum kausalitas,
kebiasaan membaca bisa menjadi sebab seperti majunya suatu negara. Jika
meninjau sejarah keislaman, maka dapat diketahui bahwa perintah pertama yang
disampaikan melalui Nabi Muhammad adalah membaca.
Perintah
membaca disampaikan melalui turunnya wahyu pertama di Gua Hira yaitu Qur’an
Surah al Alaq ayat 1—5.
Hal ini dapat diartikan bahwa Islam mengutamakan agar manusia dapat membaca
terlebih dahulu sebelum memberikan pengajaran lainnya. Pengertian itu menunjukkan
bahwa membaca merupakan suatu fondasi dalam pembelajaran.
Secara
sempit, membaca dipahami sebagai kegiatan dalam memahami karya tekstual seperti
buku, majalah, dan lainnya. Secara luas, membaca dapat dimaksudkan sebagai
memahami apa pun tidak hanya tekstual, tetapi juga membaca keadaan, membaca
permasalahan, membaca alam, dan sebagainya.
Seorang
penulis dari Amerika yang sepanjang karirnya telah menulis 48 buku-buku best seller dengan penjualan lebih dari
200 juta eksemplar
di seluruh dunia, Theodor Geisel (Dr. Seuss) mengatakan semakin banyak kamu membaca, maka semakin banyak hal yang kamu ketahui.
Kebiasaan membaca yang dibangun akan sangat bermanfaat bagi cakrawala pengetahuan.
Semakin banyak seseorang dalam membaca, maka kecenderungan untuk mengetahui
banyak hal di dunia semakin luas.
Ironi
sekali ketika melihat realita tentang budaya baca yang terjadi di Indonesia. Programme for International Student
Assessment (PISA) di tahun 2018 mengumumkan nilai kompetensi membaca di
mana Indonesia berada pada peringkat 72 dari 77 negara yang disurvei. Indeks
Aktivitas Literasi Membaca (Alibaca) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemendikbud) mengungkapkan penyebab rendahnya kebiasaan baca itu disebabkan
oleh kurangnya akses, terutama daerah terpencil (edukasi.kompas.com, 2019).
Survei
tersebut perlu menjadi introspeksi diri bagi seluruh elemen di Indonesia (baik
pemerintah maupun masyarakat) untuk bersama-sama memperbaiki akses bahan bacaan
bagi masyarakat, terutama anak-anak dan remaja. Kemudahan akses itu akan
memancing khalayak dan otomatis dapat meningkatkan budaya membaca.
Baca Pangkal Karya
Kesadaran
bahwa membaca merupakan budaya yang penting, harus lahir pada setiap
masyarakat. Perlu diketahui bahwa bangsa Indonesia lahir karena pemikiran dan
perjuangan dari para penikmat buku, seperti Bung Karno dan Bung Hatta.
Ketertarikan Bung Karno terhadap buku berawal dari perkenalannya dengan HOS
Tjokroaminoto, bahkan ketika menjadi Presiden Indonesia, ruangannya di istana
Negara dipenuhi dengan buku-buku, majalah, dan berbagai surat kabar.
Sedangkan
Bung Hatta telah hobi mengoleksi buku saat belajar di negeri Belanda. Lebih
lanjut ketika Bung Hatta diasingkan oleh pemerintah Belanda, beliau membawa 16
peti berisi buku-buku. Dalam masa pengasingan itu, Bung Hatta banyak
menghabiskan waktu untuk membaca dan menulis. Dari dua tokoh itu, dapat
dipahami bahwa gagasan tidak lahir dengan sendirinya. Suatu pemikiran lahir
dari proses mencari informasi, salah satunya dengan cara membaca.
Hukum kausalitas dan perintah membaca memberikan pemahaman bahwa membaca pun dapat menjadi akibat dari sesuatu, salah satunya berkarya. Agaknya kita sering mendengar bahwa penulis yang baik adalah pembaca yang baik. Misalnya Chairil Anwar si pujangga dan novelis Andrea Hirata, mereka merupakan penulis hebat yang rakus membaca tulisan-tulisan orang lain.
Setiap orang yang berkarya pastilah mengalami masa mencari bahan, baik itu dengan cara membaca keadaan, membaca tulisan, atau bisa juga membaca permasalahan sehingga mampu menghasilkan karya. Sangat besar kemungkinan bagi orang yang suka membaca juga akan berkarya. Pahamilah bahwa membaca adalah pangkal karya.
*Kru LPM Frekuensi, mahasiswa Pendidikan Fisika
0 Komentar