"Orang yang berani berkata terus terang adalah orang
yang mendidik jiwanya sendiri untuk merdeka. Orang yang berani menerima
perkataan terus terang adalah orang yang membimbing jiwanya kepada
kemerdekaan.”
Buya Hamka
Ketika suatu bangsa
mencapai titik kemerdekaan, apakah bangsa itu sudah sepenuhnya merdeka?
Sebenarnya apa poin penting dari kemerdekaan? Pertanyaan seperti ini dapat
dicari jawabannya melalui pemikiran Buya Hamka. Buya Hamka mengemukakan bahwa
kemerdekaan terletak pada jiwa setiap individu di dalam masyarakat. Artinya,
kemerdekaan belum sepenuhnya diraih jika seseorang –sebagai warga Negara dalam
tatanan kenegaraan yang merdeka– masih memiliki sikap
seperti budak.
Beberapa ciri sikap budak
itu diungkap Buya Hamka dalam bukunya Bohong di Dunia, di antaranya kebiasaan berbohong, kebiasaan
memungkiri janji, kebiasaan tidak bertanggung jawab atas suatu kesalahan yang
dilakukan, dan tidak mau mengakui perbuatan sendiri. Secara spesifik, Bohong di Dunia adalah buku karya Buya
Hamka yang mengupas pandangannya mengenai kebohongan. Buya Hamka juga banyak
menjelaskan detail bohong berdasarkan sudut pandang Islam dalam buku itu.
Penjelasan perspektif Islam memang banyak dipakai Buya Hamka dalam beberapa
karyanya, seperti Lembaga Budi dan Filsafat Hidup. Tak hanya itu dalam Bohong
di Dunia, Buya Hamka juga banyak memberikan pendapat ahli ilmu filsafat
seperti Plato, Aristoteles, J.J. Rousseau, Granville Stanley Hall, dan beberapa
filsuf lain.
Bahasan Bohong
di Dunia termasuk cukup ringan, meski begitu buku
ini perlu dihadirkan di tengah pembaca. Hal ini tak lain karena bohong
seringkali dijumpai, bahkan seakan membudaya di dalam masyarakat. Budaya ini
dapat dilihat dari hal kecil seperti jawaban yang tak sesuai realita ketika seseorang
ditanya mengenai kabar. Hingga budaya
bohong yang cukup riskan seperti tersebarnya
berita hoaks melalui media sosial, janji kampanye
pemilu yang tak dilaksanakan, dan lain-lain.
Berkata Sesuai
Fakta
Dalam bab kedua, Buya Hamka menjelaskan secara alami
manusia memiliki sifat fitrah untuk condong kepada kebenaran. Sifat fitrah
inilah yang mendorong manusia menunjukkan perilaku berbeda ketika berbohong
seperti berkeringat, gelisah, dan perubahan arah pandang. Pada dasarnya kenapa
bohong tak boleh dibiasakan, apalagi membudaya? Salah satunya adalah karena
dampak kebohongan tidak main-main bahkan dapat menumbangkan masyarakat.
Misalnya diambil contoh wakil rakyat, jika wakil
rakyat membiasakan bohong akan nampak jelas imbasnya bagi masyarakat luas. Janji-janji
yang disampaikan sebelum terpilih tak akan dilaksanakan dengan konsekuen.
Aturan yang dibuat tidak sesuai dengan harapan umat. Contoh lainnya misal pada
kasus pedagang. Pedagang yang biasa berbohong dapat berlaku curang dalam
jual-beli. Tentu pembeli yang tidak tahu bisa terkena dampak dari kebohongan
pedagang. Hal ini cocok sekali dengan suatu peribahasa lama, karena nila setitik rusak susu sebelanga.
Untuk membentuk bangsa yang berintegritas, perlu
kembali membudayakan kebiasaan sesuai fitrah. Fitrah manusia yang condong
kepada kebenaran tidak akan sanggup terlalu lama dalam pusaran kesalahan. Maka
dimulai dari kesadaran masing-masing, setiap orang perlu berbicara sesuai
fakta. Manusia perlu kembali kepada fitrahnya untuk menciptakan masyarakat yang
madani.
Filsafat
Bohong
Bagian terakhir dalam buku ini bukanlah
penutup, melainkan bab bertajuk Filsafat Bohong. Bagian ini berisi kajian filsafat yang disampaikan Buya Hamka dalam buku Bohong di Dunia. Di dalamnya, Buya Hamka
menguak perbedaan antara jujur dan bohong berdasarkan perspektif filsafat.
Plato memberikan arti terhadap filsafat
sebagai ilmu pengetahuan yang digunakan untuk mencapai kebenaran yang asli.
Dalam mencapai tujuan tersebut, perspektif berisi kebohongan harus dijauhkan
dan mengutamakan kejujuran untuk menghasilkan ilmu pengetahuan yang benar. Menurut Buya Hamka, ada empat perkara yang
dijadikan acuan dalam mengkaji bahasan filsafat. Mencari yang benar, lawannya
salah. Mencari yang baik, lawannya ialah yang buruk. Mencari yang indah, lawannya
ialah yang jelek. Mencari yang sempurna, lawannya ialah yang tidak sempurna.
Secara
filosofis, umumnya bohong digolongkan menjadi perkara yang salah dan buruk.
Secara kodrati, kebenaran dan kebohongan merupakan dua hal yang saling
kontradiktif. Sehingga dalam perjalanan mencari kebenaran, maka perlu menjauhi
kebohongan untuk mendapatkan kebenaran yang asli.
Judul Buku : Bohong di Dunia
Penulis :
Buya Hamka
Cetakan :
Kelima, Agustus 2020
Dimensi :
xvi + 128 hlm.; 20,5 cm
Penerbit : Gema Insani
ISBN :
978-602-250-382-8
Peresensi : Firman Hardianto
0 Komentar