“Alam adalah manusia yang besar, dan manusia adalah alam yang kecil“
-Buya Hamka-
Saat
ini bumi
sedang tidak baik-baik saja. Beberapa bagian “tubuh“ bumi mengalami sakit
kronis. Berbagai macam kerusakan lingkungan di hampir seluruh belahan bumi merupakan penyakit kronis yang harus segera ditemukan
obatnya.
Salah
satu penyakit tersebut adalah bencana yang disebabkan oleh perubahan iklim. Bagaimana
jika perubahan iklim sekarang
menjadi bencana yang menyebabkan
punahnya
manusia dan makhluk hidup lain? Akankah manusia sebagai makhluk berakal mencari solusi agar peristiwa mengerikan tersebut tidak terjadi? Terlebih lagi manusia sering
kali ikut andil atas bencana-bencana
alam akibat ulah tangan mereka.
Tidak
setuju? Mari lihat
beberapa buktinya.
Dikutip
dari Media CNN Indonesia, pada tahun 2021 dalam rentang waktu 1 bulan yakni
bulan Agustus, tercatat telah terjadi beberapa bencana besar di seluruh belahan
dunia mulai dari Kebakaran Dahsyat
Yunani, Banjir Jepang, Banjir Bandang Turki, kebakaran hutan di Turki, sampai Gempa Haiti. Atas
bencana besar tersebut, perubahan iklim lah yang dituding
sebagai biang keroknya oleh berbagai pihak. Padahal perubahan iklim ini tak lain juga disebabkan oleh
aktivitas manusia di bumi. Manusia harusnya bertanggungjawab atas rusaknya lingkungan karena hampir semua bencana yang terjadi adalah akibat
dari kebiasaan buruk menusia terhadap alam.
Kesalahan ini berawal dari cara berpikir manusia yang
menganggap bahwa dirinya adalah pusat dari segala sesuatu dan alam hanyalah
alat untuk pemuas keinginan manusia (Antroposentrisme).
Anggapan
tersebut sangat membahayakan keselamatan alam, seperti yang diungkapkan oleh
Buya Hamka dalam bukunya yang berjudul “Falsafah Hidup“ – “Alam adalah manusia yang besar dan
manusia adalah alam yang kecil”. Ungkapan tersebut mengisyaratkan
makna bahwa
alam juga sesuatu yang hidup, sama seperti manusia. Jika bumi diibaratkan
sebagai manusia, maka kita ”manusia“ diibaratkan sebagai
komponen-komponen penyusun sel yang bekerja untuk proses kehidupan
lingkungan. Tentunya Kita harus memastikan diri, jangan sampai kita menjadi sel kanker yang merugikan bagi alam.
Untuk
mendukung peryataan diatas, mengutip
dari situs LIPI Menyebutkan bahwa salah satu faktor terbesar penyebab mendasar
dari kerusakan lingkungan yang terjadi saat ini adalah bersumber dari cara
pandang manusia yang salah terhadap
alam. Dilain sumber, dalam Tulisan
Minteer dan Manning (2005) yang membedah essai lynn white jr, yang dipublikasi
oleh Jurnal Science pada tahun 1967 berjudul ”The Historical
Roots of Our Ecological
Crisis” menyimpulkan bahwa
anggapan manusia dan alam itu berbeda, dimana posisi manusia lebih tinggi dari alam dan oleh karenanya manusia
berhak menguasai alam. Anggapan ini menjadi penyebab makin masif dan dramatisnya kerusakan
lingkungan.
Kemudian
dalam Kitab Suci Al Quran, Allah memerintahkan kepada manusia untuk memberi
perhatian pada kelestarian alam dalam QS. Ar-Rum ayat 41, Allah
berfirman:
ظَهَرَ
الۡفَسَادُ فِى الۡبَرِّ وَالۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ اَيۡدِى النَّاسِ
لِيُذِيۡقَهُمۡ بَعۡضَ الَّذِىۡ عَمِلُوۡا لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُوۡنَ
“Telah
tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan
manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat)
perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Untuk
itu, kita perlu merubah paradigma yang tidak sehat bagi lingkungan
(Antroposentrisme) menjadi paradigma yang pro lingkungan (Biosentrisme) agar alam
terselamatkan. Biosentrisme memandang bahwa alam itu sama pentingnya, alam itu
sejajar, alam juga sesuatu yang hidup, yang memiliki nilai intrinsik pada
dirinya sendiri. Karena didalam nya ada kehidupan, tidak hanya manusia namun
ada banyak makhluk hidup lain yang manusia harus hormati dan jaga
kelestariannya.
Percikan
awal pemikiran biosentrisme dimulai
ketika Albert Einstein menemukan teori Relativitas. Semenjak itu alam
tidak lagi dipandang sebagai mesin yang kaku dan dingin namun di pandang
sebagai sebuah sistem kehidupan yang saling menyatu.
Pada dasarnya, paradigma melahirkan tindakan yang menjadikan kebiasaan atau akhlak.
Maka langkah awal dalam perbaikan
lingkungan ini adalah dengan melakukan penanaman pendidikan berkaitan dengan
pemahaman tentang Biosentrisme. Lembaga
pendidikan merupakan
tempat ideal dan paling efektif dalam menumbuhkan akhlak lingkungan. Karena
tujuan keberadaan lembaga pendidikan adalah mengubah prilaku manusianya menjadi
lebih baik. Sistem dan budaya pun sudah terpola untuk membentuk anak-anak yang
berkualitas baik secara akademik maupun moral.
Lingkungan
adalah tempat hidup kita semua. Ketika ada suatu permasalahan dalam lingkungan,
maka kita semua wajib bekerja sama untuk menemukan solusinya. Harus ada kerja
sama antar elemen masyarakat termasuk di dalamnya universitas (Civitas
Akademika). Universitas sebagai lembaga pendidikan tinggi sangat diharapkan
masyarakat untuk mampu melahirkan pemikiran-pemikiran kedepan sebagai solusi
atas masalah lingkungan dan strategi-strategi untuk meningkatkan kualitas
lingkungan yang lebih baik.
Program
Kampus Hijau (Green Campus) adalah salah satu upaya universitas dalam
menciptakan solusi atas isu lingkungan global. Green Campus atau Eco Campus didefinisikan sebagai kampus yang telah peduli dan berbudaya
lingkungan juga telah melakukan pengelolaan lingkungan secara sistematis dan
berkesinambungan. Program ini
diharapkan menjadikan kampus sebagai tempat yang nyaman, bersih, teduh, indah
dan sehat. Sehingga bisa menjadi role
model bagi lingkungan masyarakat lainnya. Gambarannya bukan hanya tentang
lingkungan kampus yang dipenuhi oleh berbagai macam pepohonan, atau
gedung-gedung yang dipenuhi cat hijau, bukan pula mahasiswanya yang memakai
jaket almamater berwarna hijau, namun lebih dari pada itu. Makna yang
terkandung dari Green Campus itu adalah sejauh mana warga kampus dapat
memanfaatkan sumber daya yang ada di lingkungan kampus secara efektif dan
efisien. Contohnya seperti pemanfaatan kertas, alat tulis menulis, penggunaan
listrik, air, lahan pengelolaan sampah dan hal
lain yang berhubungan dengan pelestarian
lingkungan.
Akan tetapi upaya
praktis dan teknis penyelamatan lingkungan dengan bantuan sains dan teknologi
belum lah cukup untuk menyelamatkan bumi ini. Di butuhkan perubahan prilaku dan
gaya hidup yang tidak hanya dimiliki
oleh beberapa orang saja, tetapi harus menjadi gerakan masif dan budaya
masyarakat secara luas. Green Campus hadir sebagai panduan yang menjadi
rujukan, dan pembelajaran agar bisa
menuntun masyarakat untuk bersikap dan bertindak secara benar dengan alam dan
lingkungannya. Oleh karena itu program ini bertujuan
untuk meningkatkan kesadaran serta kepedulian masyarakat kampus sebagai
kumpulan masyarakat ilmiah untuk turut serta berpartisipasi dan bertanggung
jawab dalam mengurangi pemasanasan global.
Budaya
peduli dan ramah lingkungan yang merupakan manifestasi dari program Green
Campus tidak hanya akan berdampak pada terciptanya keseimbangan hidup manusia,
alam dan lingkungannya, namun akan berdampak pula pada penciptaan kehidupan
masyarakat yang beradab dan berbudaya.
Dari kampus untuk bumi, Green Campus akan menjadikan bumi menjadi lebih
sejuk, nyaman bagi hidup dan kehidupan, dan menjamin kelangsungan hidup
generasi selanjutnya.
*) Mahasiswa jurusan Biologi angkatan 2020
0 Komentar