(Sumber : Pixabay)
Dara tengah serius belajar, terlonjak kaget mendengar suara kaca pecah dari depan kamarnya, di mana kamar itu adalah kamar orang tuanya. Rasa takut sekaligus bingung menyelimuti Dara saat ini. Padahal sebelumnya hanya terdengar suara adu mulut di antara kedua orang tuanya, namun tak Dara gubris, sebab itu masalah orang tua. Anak kecil yang masih menginjak usia belasan tak pantas ikut campur.
KLEK... sontak ia menoleh saat seseorang membuka pintu kamarnya, ternyata itu kakak lelakinya bernama Syafid. Dara langsung berlari dan memeluk kakaknya, Syafid tahu pasti adik perempuannya ini sangat ketakutan.
“Gapapa, tenang ya, kakak di sini.”
“Ibu sama ayah kenapa kak? Dara takut ibu kenapa-kenapa.”
“Itu masalah orang tua, Dara tutup telinga saja ya. Nanti kalau sudah tenang kita ke kamar mereka.”
Sebenarnya Syafid mengetahui apa yang telah terjadi, sebab ayahnya baru pulang ke rumah setelah tiga hari tak terlihat batang hidungnya. Syafid juga tahu alasan ayahnya tak pulang selama itu, meskipun ia sibuk sebagai mahasiswa kedokteran. Namun ia tak ingin memberi tahu yang sebenarnya kepada sang adik, sebab Dara masih terlalu dini.
Beberapa menit kemudian ayahnya memanggil mereka, “anak-anak ayah, sini makan dulu nak.” Mereka berdua lantas keluar secara bersamaan dan berjalan ke meja makan.
“Loh ayah sudah pulang?” tanya Dara sebisa mungkin biasa saja seperti pesan kakaknya tadi.
“Sudah dong ayah kan kangen sama anak-anak ayah, kalian kangen gak sama ayah?”
“Kangen dong yah,” dengan senyum manis khasnya Dara menjawab seperti itu, namun berbeda dengan kakak lelaki yang ada di sampingnya, Syafid malah menjawab bertolak belakang dengan Dara.
“Syafid,” tegur ibunya yang sedang mengambilkan nasi untuk ayahnya.
“Masih ingat jalan pulang yah? Ke sasar di mana yah? Syafid kira ayah lupa, baru saja mau di sharelock.”
“Syafid!” tegur ibunya untuk yang kedua kali namun dengan nada yang lebih tegas lagi.
“Kan benar bu.”
Sang ayah hanya menatap anak pertamanya itu dengan sinis, hubungan antara anak dan ayah itu tampak tak baik-baik saja, karena dapat dirasakan oleh putri kecilnya.
Saat sedang makan dengan tenang, tiba-tiba saja handphone milik ayah bergetar dan menampilkan panggilan suara yang ada di samping mangkuk berisi sayur. Dara mengerutkan dahinya saat membaca nama yang menelepon ayahnya. ‘sayang? Bukannya ibu ada di samping? Terus yang telpon siapa?’ tanya Dara dalam hati.
Syafid memiringkan senyumnya, mau sepintar apapun mengubur bangkai, baunya pasti akan tercium juga. “kok gak diangkat yah?” tanya Syafid sedikit meledek.
“Gak penting.”
Lagi-lagi Syafid menahan senyumnya agar tidak terkesan meledek ayahnya yang telah berbohong. “SYAFID!” tegur ibu untuk ketiga kalinya membuat sang punya nama geram akan kelakuan ibunya yang terus saja diam.
“Kenapa sih bu?” tanyanya malah mendapat tatapan tajam dari kedua orang tuanya.
“Kenapa ibu diam doang? Ibu tahu juga kan kalau ayah selingkuh?!”
Entah sadar atau tidak, ayah menampar pipi anak lelakinya dengan keras di depan putri kecilnya yang masih tak percaya dengan kalimat yang sudah dilontarkan Syafid.
“Kenapa ayah marah? Bener kan yah?” ayahnya ingin menamparnya sekali lagi, Dara menutup matanya rapat-rapat tak ingin melihat kejadian itu lagi dan berharap itu hanyalah mimpi.
Dara terlonjak dari posisi tidurnya di atas meja saat ada yang menepuk pelan pipi kirinya. “Ra bangun Ra,” Dara semakin terkejut saat sang guru sudah berada di sampingnya.
“Syukurlah cuma mimpi.”
Ternyata sedari tadi ia berada di ruang kelas dan terlelap begitu saja saat guru bahasa Indonesia sedang menerangkan materi. “Kamu tidak apa-apa Dara?” tanya guru tersebut, Dara bersyukur karena guru perempuan yang ada di hadapannya ini malah bertanya akan keadaannya bukan memarahinya karena sudah tertidur di kelas.
“Dara? Kamu tidak apa-apa? Wajah kamu pucat sekali.”
“Tidak apa-apa Bu. Maaf saya tertidur di pelajaran ibu. Saya tidak akan mengulanginya lagi Bu.”
“Tidak apa-apa Dara,” ucap dengan senyum manis guru itu, “Baik untuk semuanya kemas semua barang-barangnya karena bel pulang sudah berbunyi.”
Seperti sebuah kesenangan tersendiri ketika jam sekolah sudah selesai, semua berhamburan keluar kelas untuk pulang ke rumahnya masing-masing. Begitu juga Dara yang masih terpikir akan mimpinya tadi.
“Itu gak akan terjadi kan ya? Aku takut kalau beneran kejadian.”
PRANKKK!!
Suara kaca jatuh terdengar nyaring di telinga, ketika Dara baru saja membuka pintu rumahnya. Secepat mungkin Dara berlari ke arah sumber suara dengan tas berisikan buku yang masih bertengger di kedua pundaknya. Namun saat menaiki anak tangga, ia berpapasan dengan ayahnya yang tampak terburu-buru juga untuk menuruni anak tangga.
“Ayah? Ayah kapan pulang? Yah itu tadi bunyi apa?” tak ada jawaban dari ayahnya yang semakin cepat menuruni anak tangga dan mengambil kunci mobil yang tergeletak di atas meja dekat tangga.
Mimik wajahnya tidak bisa dibohongi, wajah kebingungan Dara sangat terlihat jelas dengan apa yang telah terjadi di lantai dua, ia bimbang ingin mengejar ayahnya keluar rumah atau tetap ke lantai dua untuk melihat hal apa yang sudah terjadi.
Sampai akhirnya Dara yang masih memakai seragam putih biru tua mendengar suara rintihan dari kamar orang tuanya. Ralat, kamar ibunya, sebab sudah hampir tiga hari ayahnya tidak pulang ke rumah dan tidak ada kabarnya sama sekali, entah ke mana? Dara tidak memedulikan itu. Bahkan sudah berulang kali ibunya sudah menghubungi ayahnya, namun tetap saja tak ada balasan.
“IBUUU!” naasnya Dara datang terlambat ke kamar ibunya yang di lantai dua, saat ia membuka pintu kamar ibunya yang sudah menutup matanya rapat-rapat, darah segar keluar dari kepala bagian belakangnya sudah tercecer membasahi lantai putih dan serpihan botol berbahan kaca juga tersebar di mana-mana.
“Ibu, bangun bu,”
Dengan cepat Dara membuka smartphone yang sempat ia buang begitu saja saat melihat keadaan ibunya. Ia menghubungi seseorang yang bisa diandalkan setelah ayahnya tak pulang ke rumah selama tiga hari.
“Hallo kak? Kakak bisa pulang sekarang?” tanya Dara dengan suara yang gemetar.
“Dek? Kamu kenapa? Ada apa?”
“Sudah kakak pulang sekarang. CEPETAN!” ucap Dara dengan emosi yang sudah tak tertahan lagi. Saat ini ia menangis tersedu-sedu melihat keadaan ibunya yang tak bergerak sama sekali.
Ingin rasanya perempuan itu meminta bantuan kepada tetangganya, namun ia baru ingat kalau keluarganya tinggal di mana rumah kanan dan kirinya adalah orang yang sibuk kerja, jadi pastinya rumah itu kosong jika siang hari begini akibat belum pulang kerja.
Hampir 20 menit kakak lelakinya baru saja sampai di rumah dan sama terkejutnya seperti Dara pertama kali melihat keadaan ibunya, “Kenapa gak telepon ambulans Dara?!”
Setelah itu Syafid yang masih mengenakan kemeja kotak-kotak langsung membopong sosok wanita cantik yang sangat ia sayangi ke dalam mobilnya, diekori oleh adiknya dengan pakaian yang sudah berlumuran darah.
Selama di perjalanan hanya diisi dengan keheningan, ketika air matanya yang terus keluar dari matanya dengan cepat Dara hapus, tak ingin membuat kakaknya semakin khawatir. Sampainya di rumah sakit, “di belakang ada jaket kakak, pakai dulu,” dibalas anggukan oleh Dara.
Pihak rumah sakit langsung saja memberikan pertolongan kepada ibu mereka, saat sedang di tangani Syafid tampak gelisah dan terus menerus menyalahkan dirinya yang salah mengambil keputusan.
Dara menengok ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan kakaknya, “Dara,” panggil Syafid dan langsung memeluk perempuan kedua yang sangat ia lindungi setelah ibu, ketika mengetahui kekasaran ayahnya.
“Ibu kenapa Ra?”
Dara atau yang biasa disapa Rara itu masih terus memeluk kakaknya sambil menangis. Ia tak kuasa menjelaskan apa yang terjadi, lagi pula ia tak mengetahui apa yang telah terjadi dengan ibunya.
Tak ada tanggapan apa pun dari Dara, sampai seorang dokter keluar dari ruangan sehabis menangani ibunya yang tak sadarkan diri membuat Syafid harus melepaskan pelukan adiknya, “wali dari ibu Wiwit?” mereka mengangguk kompak.
“Ibu wiwit sudah meninggal akibat pendarahan di kepalanya...” dengan rasa tak tega dokter tersebut harus memberikan informasi secara lengkap atas pasiennya yang kini sudah dipanggil oleh Tuhan.
Dara yang kakinya sudah lemas jatuh begitu saja ke lantai dan menangis tersedu-sedu. Ia tak menyangka ternyata mimpinya tadi siang saat masih di kelas adalah pertanda buruk. Ia juga masih tak percaya bahwa orang yang sangat ia sayangi pergi dengan cepat begitu saja. Sedangkan Syafid tampak menarik rambutnya dengan kasar, ia merasa gagal sebagai anak lelaki satu-satunya. Ia gagal menyelamatkan ibunya.
Kini sosok wanita cantik yang melahirkan mereka sudah hilang untuk selama-lamanya, pergi meninggalkan mereka berdua. Dara sangat sedih, sedangkan kakaknya menyimpan dendam kepada sang ayah. Namun mulai saat ini, pria seperti dia tak pantas dipanggil ayah lagi.
“Ibu tenanglah di Surga, sejuta rinduku untukmu ibu,” ucap Dara menangis pilu.
(Cerpen/Amalia Arkana Putri)
0 Komentar