Oleh: Siti Qummariyah
Di sebuah kampus yang katanya “penuh inspirasi”, ada seorang mahasiswa
bernama Radit. Radit itu tipikal manusia yang hobi mengeluh tapi malas berubah.
Setiap hari jadwalnya hanya tiga: bangun siang, kuliah seadanya, lalu tenggelam
di warnet untuk main gim. Teman-temannya sudah lama menyerah mengajak Radit
ikut kegiatan kampus. Bagi mereka, Radit adalah spesies langka,
“Anti-Ribet-Ribet Club”.
Namun, kehidupan Radit berubah total setelah dia bertemu seseorang yang
bikin gegar hidupnya: Rian, senior yang mendadak memaksa Radit ikut rapat
organisasi.
“Radit, ikut rapat Frekuensi sore ini. Jangan alasan sibuk. Gue udah
tahu lu Cuma di warnet.”
Radit langsung ingin pura-pura mati. “Bang Rian, sumpah deh, gue nggak
minat jadi aktivis. Kuliah aja udah berat, Bang!”
Rian tertawa sinis. “Kuliah berat apanya? Kalo berat, kenapa gue tiap
hari liat lu nongkrong di kantin main catur sama si Fikri?”
Radit terdiam. Jleb. Tertangkap basah.
Sore itu, demi menghindari ceramah Rian yang katanya bisa bikin burung
di pohon stres, Radit menyerah. Ia melangkah lesu ke sekretariat Warta kampus.
Rapat pertama Radit seperti menonton sinetron misteri. Di ruang sempit
yang dipenuhi poster lawas dan kertas berserakan, orang-orang saling
debat.
“Artikel deadline-nya Jumat, jangan ditunda lagi!” seru seseorang.
“Tapi kita kekurangan tulisan! Siapa mau bikin ulasan acara kampus?”
sahut yang lain.
Radit duduk di pojok, bingung. Apa sih yang seru dari debat panjang
ini? Dia hanya ingin pulang dan kembali main gim. Tapi mendadak Rian
menunjuknya.
“Radit, kamu tulis ulasan acara workshop!”
“Apa?” Radit melotot. “Saya bahkan nggak ngerti acaranya!”
“Bagus, ini kesempatan belajar!” jawab Rian santai.
Demi menyelesaikan tugas itu, Radit akhirnya menghadiri workshop. Ia
duduk di barisan belakang sambil menguap, berpikir acara ini pasti membosankan.
Tapi, ternyata isi materi menarik. Narasumbernya membahas cara membuat cerita
yang hidup.
Radit mulai merasa tertantang. “Oke, mungkin gue coba serius.”
Namun, malam itu saat menulis, Radit malah bingung. Tulisannya kaku
seperti pengumuman RT. Ketika ia hampir menyerah, Rian datang.
“Radit, tulisanmu mana?”
“Bang, ini kayaknya gue nggak berbakat…”
Rian membaca tulisan Radit sebentar, lalu berkata, “Tulisan bagus itu
nggak langsung jadi, Dit. Revisi itu bagian dari proses.”
Rian lalu membantu memperbaiki kalimat-kalimat Radit. Saat artikel
akhirnya selesai, Radit merasa bangga. Meski sederhana, tulisan itu dimuat di
buletin organisasi.
Waktu berlalu. Radit mulai sering ikut rapat, membuat artikel, hingga
meliput acara. Dia jadi kenal banyak orang, belajar public speaking, dan bahkan
menikmati kerja sama tim yang dulu ia benci.
Teman-temannya heran melihat perubahan Radit.
“Dit, lo kenapa tiba-tiba rajin? Ini lo yang dulu cuma hobi rebahan,
kan?” tanya Fikri.
Radit tertawa. “Gue sadar, bro. Hidup itu nggak cuma soal gue doang.
Ternyata seru juga bikin sesuatu yang bermanfaat buat orang lain.”
Tentu saja, organisasi tidak selalu mulus. Ada drama internal, tugas
mendadak, dan tenggat waktu yang mepet. Tapi, dari situ Radit belajar bahwa
kerja tim tidak hanya soal menyelesaikan tugas, tapi juga memahami
manusia.
Suatu hari, saat sedang menulis laporan, Rian berkata, “Radit, tahu
nggak kenapa gue paksa kamu ikut organisasi?”
Radit menggeleng.
“Karena hidup itu kayak organisasi. Lo nggak bisa jalan sendirian. Lo
butuh orang lain, dan orang lain butuh lo.”
Kata-kata itu terus terngiang di kepala Radit. Kini ia paham,
organisasi bukan sekadar kumpulan rapat atau debat, tapi tentang membangun diri
untuk siap menghadapi dunia.
Setelah dua tahun di Warta kampus, Radit akhirnya jadi ketua. Ia yang dulu
malas berubah, kini jadi orang yang sibuk memotivasi junior.
Suatu hari, seorang junior bertanya, “Kak, kenapa sih harus ikut
organisasi?”
Radit tersenyum. “Karena organisasi itu sekolah hidup. Di sini, lo
belajar hal yang nggak bakal lo dapet di kelas: kerja sama, kepemimpinan, dan
bertahan di tengah kekacauan. Kalau lo nggak pernah nyemplung, lo nggak bakal
tahu betapa serunya.”
Junior itu mengangguk. Dan di sudut ruang, Rian tersenyum bangga
melihat perubahan Radit yang dulu ia paksa hadir di rapat.
0 Komentar