Sumber Dokumentasi : PxHere 

Langit fajar menyambut pagi dengan semburat jingga yang seolah menggenggam sisa-sisa kenangan. Embusan angin membawa aroma khas pagi hari, memelukku dalam hening yang terasa lebih menyesakkan dari biasanya. Hari Raya seharusnya menjadi hari penuh sukacita, namun bagiku, ada yang hilang, ada yang tak tergantikan.

Namaku Anisa. Dan hari ini adalah Lebaran pertamaku tanpa sahabat terbaikku, Laila.

Laila adalah seseorang yang tak pernah gagal menghadirkan tawa di setiap kesempatan. Ia selalu datang lebih pagi dari tamu lainnya, mengetuk pintu rumahku dengan semangat yang nyaris berlebihan.

"Bangun, malas! Ini hari raya, bukan hari tidur seharian!" begitu katamu tahun lalu, menggedor pintu kamarku tanpa ampun.

Kini, hanya suara takbir yang menggema, merambat perlahan dalam kesunyian yang terasa menyesakkan.

Aku melangkah perlahan ke ruang tamu, menatap hidangan yang tersaji. Ketupat, opor, dan rendang tetap ada, tetapi tiada lagi tangan yang dulu ikut membantu meraciknya sambil bercanda.

"Eh, ketupat ini miring, tuh. Nih, biar aku yang bikin lebih rapi!" suaramu dulu masih terngiang di benakku.

Tahun lalu, kita masih berbagi piring yang sama, menertawakan masa kecil yang penuh kenakalan. Tahun ini, aku sendiri, meraba ruang kosong di sampingku yang tak lagi terisi oleh hadirmu.

Setelah bersalam dengan keluarga, kakiku membawaku ke tempat yang sejak kepergianmu menjadi tujuan wajib di hari suci ini. Makammu. Dengan langkah berat, aku berdiri di hadapan pusaramu, tangan mengatup, bibir bergetar melantunkan doa.

"Aku datang lagi, sahabat," ucapku lirih. "Hari Raya tanpa hadirmu terasa bagai malam tanpa rembulan, sepi, kosong, kehilangan sinarnya."

Angin berembus lembut, seolah membawa suara yang tak bisa kudengar. Aku duduk bersila, menyentuhkan jemariku ke nisan yang dingin, berharap bisa merasakan hangatnya kehadiranmu sekali lagi.

"Dulu, kau selalu berkata bahwa perayaan ini bukan soal makanan atau pakaian baru, melainkan tentang hati yang kembali bersih. Tapi bagaimana aku bisa merayakannya dengan hati yang masih dipenuhi kehilangan?"

Aku tertawa kecil, getir, lalu mengusap sudut mataku yang basah.

"Hei, kalau kau bisa mendengar, tolong beri tanda, ya? Aku... aku benar-benar rindu," ucapku pelan, hampir berbisik.

Hening. Hanya desiran dedaunan yang menemani. Aku memejamkan mata, membiarkan gelombang rindu merayap ke dalam jiwaku.

"Aku harap kau bahagia di sana," bisikku. "Jangan khawatir, aku akan tetap merayakan hari ini dengan senyum, seperti yang selalu kau inginkan. Akan kuceritakan pada dunia bahwa aku punya seorang sahabat yang meski tak lagi di sini, tetap hidup dalam setiap langkahku."

Aku bangkit perlahan, meninggalkan jejak doa di antara bunga-bunga yang layu. Sebelum beranjak, aku menatap langit—mencari tanda bahwa engkau mendengarku. Dan di antara awan yang bergerak perlahan, aku seperti melihatmu tersenyum.

Hari Raya ini tetap suci, meski tanpamu di sisi.

Selepas hari raya, rumah kembali sunyi. Keriuhan tamu yang datang dan pergi perlahan meredup, meninggalkan ruang-ruang kosong yang terasa lebih luas dari biasanya. Aku duduk di beranda, menatap jalanan yang mulai lengang. Biasanya, kau akan datang di sore seperti ini, membawa cerita baru dan canda tawa yang tak ada habisnya.

"Hei, habis ini kita ke mana? Cari es krim? Atau keliling komplek cari rumah yang makanannya paling enak?" Begitu dulu kau bertanya dengan mata berbinar.

Tapi kini, hanya angin yang menemani. Suara takbir telah berganti menjadi keheningan yang menggantung di udara. Sisa kue kering di meja masih utuh, tak ada lagi tanganmu yang dulu dengan riang mengambilnya sambil berceloteh.

"Kamu terlalu pelit membagikan kue, tahu nggak? Aku ambil dua ya!" Dulu, kau selalu berkata begitu, lalu tertawa lebar saat aku berpura-pura kesal.

Aku menyesap teh hangat, tapi rasanya hambar, seolah kehilangan makna.

Malam tiba, dan kesunyian semakin menusuk. Lampu-lampu rumah tetangga masih menyala, menyisakan bayang-bayang samar di jalanan. Aku menatap ponselku, ingin mengirim pesan, ingin menelepon, tapi tak ada lagi nomor yang bisa kuhubungi. Hanya nama yang tetap tersimpan, tanpa jawaban.

"Kau pasti bakal tertawa kalau tahu aku masih menyimpan chat terakhir kita..." gumamku lirih.

Aku menghela napas panjang, menyadari bahwa rindu ini tak akan pernah benar-benar hilang. Hari raya telah berlalu, tapi kekosongan ini masih bertahan, menggantung di relung hati yang tak lagi sama.

Namun, aku tahu kau tak ingin melihatku terus terpuruk dalam kesedihan. Kau pasti ingin aku tetap melangkah, menjalani hidup dengan senyum yang dulu sering kau kagumi.

"Aku akan baik-baik saja, Laila," bisikku. "Aku akan tetap melangkah, tetap berusaha menemukan kebahagiaan meski tanpamu di sisi. Aku akan menjaga kenangan kita, bukan sebagai luka, tetapi sebagai cahaya yang menemani langkahku."

Dalam hati, aku berjanji untuk menjadi lebih kuat. Kehilanganmu memang menyakitkan, tetapi aku percaya bahwa kau kini berada di tempat yang lebih baik. Suatu hari nanti, kita akan bertemu lagi. Dan saat itu, aku ingin menceritakan banyak hal tentang hidupku, tentang bagaimana aku bertahan, tentang bagaimana aku belajar untuk kembali tersenyum.

Aku menatap langit sekali lagi, kali ini dengan hati yang lebih lapang.

"Selamat Hari Raya, sahabat. Kau akan selalu ada dalam setiap doaku. Sampai jumpa di tempat yang lebih indah nanti."

Dengan langkah ringan, aku kembali ke dalam rumah. Hidup harus terus berjalan, dan aku ingin menjalaninya dengan cahaya kenangan yang kau tinggalkan untukku.

Langit fajar menghampar sunyi,
menyapa pagi dengan rindu yang lirih,
angin membawa sisa memori,
tentang tawa yang kini beralih.

Di meja masih tersaji ketupat,
tapi tak ada tanganmu yang merajut,
suara takbir bergema khidmat,
namun hatiku tetap terpaut.

Aku melangkah ke pusaramu,
membawa doa dalam gemetar raga,
“Laila, apakah kau dengarku?”
bisikku lirih dalam gulana.

Tak ada jawab, hanya angin,
menyapu lembut bunga yang layu,
namun di langit kulihat bayangmu,
tersenyum tenang dalam sendu.

Lebaran berlalu, rumah hampa,
tanpa langkahmu yang berderap riang,
tapi aku tahu, dalam jiwa,
kau tetap ada, tak pernah hilang.

Maka biarlah waktu mengajariku,
menjalani hidup dengan terang hatimu,
meski kau jauh di langit biru,
cahaya persahabatanmu selalu menyatu.

Selamat Hari Raya, sahabatku,
sampai jumpa di tempat yang lebih syahdu.

Penulis : Siti Qummariyah