![]() |
Sumber Dokumentasi : Merdeka.com |
Tak banyak yang tahu bahwa Indonesia pernah punya mobil listrik sport yang cukup menjanjikan. Namanya Selo, mobil generasi kedua setelah Tucuxi. Keduanya sama-sama digagas oleh Dahlan Iskan, saat itu menjabat sebagai Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bersama Putra Petir, tim teknis lokal.
Selo dikembangkan sekitar tahun 2013 sebagai bagian dari proyek ambisius kendaraan listrik buatan anak bangsa. Ia dirancang menyerupai supercar, bahkan banyak yang menyamakannya dengan Lamborghini karena tampilannya yang agresif dan futuristik. Tak seperti Tucuxi yang mengusung desain mirip Ferrari, Selo tampil lebih khas dan berani. Performa Selo juga tidak main-main, mobil ini bisa menempuh jarak hingga 250 km dalam satu kali pengisian daya, dengan kecepatan maksimal mencapai 220 km per jam.
Mobil ini disiapkan untuk tampil dalam acara internasional Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Pacific Economic Cooperation (KTT APEC) di Bali pada Oktober 2013, bersama kendaraan listrik lain seperti minibus, bus, dan sedan. Selo seharusnya menjadi kebanggaan Indonesia, simbol bahwa negeri ini juga bisa bersaing dalam inovasi otomotif global yang ramah lingkungan.
Menariknya, nama Selo diambil dari bahasa Jawa yang berarti batu. Meski alasan pemilihan nama itu tak dijelaskan secara detail, namun setelah era Tucuxi, tampaknya ada keinginan untuk memberikan sentuhan identitas lokal yang lebih kuat pada kendaraan-kendaraan listrik berikutnya, seperti Selo dan Gendhis.
Namun sayangnya, perjalanan Selo tidak secerah harapannya. Kendaraan ini gagal dalam uji emisi, padahal seharusnya mobil listrik tidak menghasilkan emisi seperti kendaraan yang memakai bahan bakar fosil. Kegagalan tersebut membuat produksi Selo terhambat, bahkan dihentikan. Selain itu, tantangan lain datang dari dalam negeri sendiri. Regulasi yang belum siap, infrastruktur yang masih minim, serta kurangnya dukungan konkret dari pemerintah membuat pengembangan Selo tak bisa berlanjut. Padahal, kendaraan ini murni dikembangkan oleh SDM lokal dan punya potensi untuk menjadi pionir dalam kendaraan ramah lingkungan asal Indonesia.
Di tengah jalan buntu ini, Ricky Elson, insinyur di balik pengembangan teknologi Selo, menerima tawaran dari Malaysia yang tertarik untuk melanjutkan pengembangan kendaraan listrik tersebut. Meski keputusannya menimbulkan kontroversi, Ricky menegaskan bahwa langkah ini diambil agar visi besar di balik Selo tidak mati begitu saja. Ia tidak menyerahkan karya anak bangsa ke luar negeri, tapi mencoba mencari jalan agar inovasi itu tetap hidup.
Mantan Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) saat itu, Unggul Priyanto, turut membela keputusan ini. Menurutnya, melanjutkan pengembangan di luar negeri bukan hal yang salah, mengingat biaya produksi di Indonesia yang masih tinggi serta keterbatasan dukungan pemerintah terhadap teknologi kendaraan listrik.
Meski begitu, rasanya tetap menyisakan kecewa. Karya anak bangsa yang punya potensi besar justru harus berkembang di tanah orang lain. Ini jadi tamparan bagi kita semua, bahwa Indonesia masih punya pekerjaan rumah besar untuk menciptakan ekosistem yang mendukung inovasi lokal agar bisa tumbuh dan dibanggakan di negeri sendiri. (Sumber: merdeka.com)
Penulis : Nadia Afifah (Kru LPM Frekuensi 24)
Editor : Rifaatus
0 Komentar